Jumat, 23 Juli 2010

Jauhilah Sifal-sifat Munafik

Di awal surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tiga golongan manusia:
1. Kaum mukminin
2. Orang-orang kafir
3. Orang-orang munafik
Allah Subhanahu wa Ta’ala membeberkan kepada kaum mukminin di dalam ayat-ayat tersebut tentang kebusukan hati orang-orang munafik dan permusuhan mereka kepada kaum mukminin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat kerusakan namun mengklaim sebagai orang yang melakukan perbaikan:

Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi.” Maka mereka berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ketahuilah, mereka adalah umat yang melakukan kerusakan namun mereka tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah: 11-12)
Mereka adalah orang-orang dungu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh (dungu), tetapi mereka tidak tahu. (Al-Baqarah: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperolok mereka:

“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Al-Baqarah: 15)
Di antara bentuk balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ketika di hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada meraka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kalian?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah, dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.” (Al-Hadid: 12-14)
Di dalam ayat-ayat lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang munafikin dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Tidakkah mereka (orang-orang munafik) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya maka bagi dia neraka jahanam. Dia kekal di dalamnya dan itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Di dalam ayat yang lain:

“Allah mengancam orang-orang munafik yang laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (At-Taubah: 68)
Kelak mereka akan ada di kerak neraka yang terbawah:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Banyak lagi nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keburukan orang-orang munafik dan ancaman bagi mereka. Sehingga seyogianya bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari mereka dan juga menjauhi sifat-sifat mereka.

Pengertian nifaq (kemunafikan)
Kemunafikan adalah menyembunyikan kebatilan dan menampakkan kebaikan. Kemunafikan adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Al-Baqarah: 10)

Jenis nifaq (kemunafikan)
Ada dua jenis, yakni nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq asghar (kemunafikan kecil). Kemunafikan akbar yang disebut juga kemunafikan i’tiqadi (keyakinan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Kemunafikan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kemunafikan asghar yang disebut pula kemunafikan amali (amalan) adalah menampakkan lahiriah yang baik dan menyembunyikan kebalikannya. Pokok kemunafikan asghar kembali kepada lima perkara: Sering berdusta ketika berbicara, sering tidak menepati janji, jika berselisih melampaui batas, jika melakukan perjanjian melanggarnya, dan sering khianat jika diberi amanah.
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri rahimahullahu.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Perbedaan kemunafikan kecil dan kemunafikan besar
Di antara perbedaan antara keduanya adalah:
1. Kemunafikan akbar pelakunya keluar dari Islam, adapun kemunafikan asghar tidak mengeluarkan dari Islam.
2. Kemunafikan akbar tidak mungkin bersatu dengan keimanan, adapun kemunafikan asghar mungkin ada pada seorang yang beriman.
3. Kemunafikan akbar pelakunya kekal di neraka, sedangkan kemunafikan asghar pelakunya tidak kekal di neraka.
(Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Bahaya kemunafikan asghar
Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Orang beriman senantiasa khawatir terjatuh ke dalam kemunafikan
Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”
Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.
Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Jauhi sifat-sifat munafik
Kami akan sebutkan beberapa sifat kemunafikan amali yang telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kemunafikan amali inilah yang kadang dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Padahal kemunafikan amali sangatlah fatal akibatnya jika terus dilakukan seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab rahimahullahu: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati. Demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya.”
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Empat perkara, barangsiapa yang ada pada dirinya keempat perkara tersebut maka ia munafik tulen. Jika ada padanya satu di antara perangai tersebut berarti ada pada dirinya satu perangai kemunafikan sampai meninggalkannya: Yaitu seseorang jika bicara berdusta, jika membuat janji tidak menepatinya, jika berselisih melampui batas, dan jika melakukan perjanjian mengkhianatinya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa di antara perangai kemunafikan adalah:
1. Berdusta ketika bicara
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Inti kemunafikan yang dibangun di atasnya kemunafikan adalah dusta.”
2. Mengingkari janji
3. Mengkhianati amanah
4. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Perjanjian yang dimaksud dalam hadits ini ada dua:
1. Perjanjian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk senantiasa beribadah kepada-Nya.
2. Perjanjian dengan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini mencakup banyak perkara.
Oleh karena itu, seorang mukmin seharusnya senantiasa berusaha memenuhi perjanjiannya, terlebih lagi perjanjiannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23)
Lain halnya dengan orang-orang kafir dan munafik. Mereka adalah orang-orang yang suka membatalkan secara sepihak serta tidak menepati perjanjian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya serta membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta. (At-Taubah: 75-77)

Wajib hukumnya memenuhi perjanjian dengan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala
Ibnu Rajab rahimahullahu menyatakan: “Mengingkari (mengkhianati) perjanjian adalah haram dalam semua perjanjian seorang muslim dengan yang lainnya walaupun dengan seorang kafir mu’ahad. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad tidak akan mencium bau surga padahal wanginya surga tercium dari jarak 40 tahun perjalanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3166) [Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 744]
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu juga menyatakan: “Adapun perjanjian di antara kaum muslimin maka keharusan untuk memenuhinya lebih kuat lagi, dan membatalkannya lebih besar dosanya. Yang paling besar adalah membatalkan perjanjian taat kepada pemimpin muslimin yang (kita) telah berbai’at kepadanya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat nanti, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih –di antaranya: “Seorang yang membai’at pemimpinnya hanya karena dunia, jika pemimpinnya memberi apa yang dia mau dia penuhi perjanjiannya dan jika tidak maka dia pun tidak menepati perjanjiannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2672, Muslim no. 108)

Berhati-hatilah dari berbagai bentuk kemunafikan
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Kemunafikan sekarang ini banyak terjadi pada pergerakan politik, sebagaimana telah dipersaksikan oleh sebagian mereka. Sebagian mereka menyatakan: ‘Aku tidak pernah tahu ada politikus yang tidak berdusta.’ Sebagian bahkan menyatakan: ‘Sesungguhnya politik adalah kemunafikan.’ Sehingga kebanyakan politikus terkena kemunafikan amali dalam partai-partai politik.”
Beliau juga menyatakan: “Di antara tanda kemunafikan amali adalah ber-wala’ (berloyalitas) dengan ahlul bid’ah serta membuat manhaj-manhaj berbahaya dalam rangka melawan dan meruntuhkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Syarh Ushulus Sunnah)

Penutup
Saudaraku sekalian…
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita bersikap keras dan menjauhi orang-orang munafik serta menjadikannya sebagai musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai Nabi, jihadilah orang-orang kafir dan munafikin serta bersikap keraslah kepada mereka.” (At-Tahrim: 9)
Dalam ayat yang lain:

“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (Al-Munafiqun: 4)
Maka, sepatutnya seorang muslim menjauhkan diri dari amalan dan sifat-sifat musuh mereka, serta menjauhkan diri dari semua perkara yang akan menjatuhkan dirinya ke dalam kemunafikan, seperti politik praktis dan berbagai jenis kebid’ahan. Nas’alullah al-’afwa wal afiyah.

Janji Setia Seorang Muslim

Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mengucapkan ba’iat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan bersikap nush (berniat baik) bagi setiap muslim.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits ini melalui jalan Musaddad, dari Yahya, dari Ismail, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
Nama lengkap Musaddad adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurad Al-Asadi Abul Hasan Al-Bashri. Musaddad sendiri adalah sebuah gelar, adapun nama beliau adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz.
Yahya adalah Yahya bin Sa’id Al-Qaththan.
Ismail adalah Ismail bin Abi Khalid.
Dalam riwayat Al-Bukhari yang lain ada penambahan lafadz yaitu, “Aku telah mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersyahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat, serta bersikap nush bagi setiap muslim.”
Jarir berasal dari daerah yang bernama Bajal. Demikian juga Qais bin Abi Hazim dan Ismail bin Abi Khalid. Ketiganya berkunyah Abu ‘Abdillah.
Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Abdullah bin Numair dan Abu Usamah, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa sanad hadits ini seluruhnya dari perawi Kufi (berasal dari Kufah).
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa’id, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Para peneguh janji
Sebagai bentuk kesempurnaan seorang muslim, kita harus mengenal sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mempelajari kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi nabi dan sesudahnya. Mempelajari ciri-ciri khalqiyyah (fisik) sekaligus khuluqiyyah (akhlak) beliau. Membaca dan memahami petunjuk hidup yang beliau wariskan dengan keyakinan kuat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk kemudian diamalkan tentunya. Karena sejarah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan hikmah, ibrah, serta pelajaran-pelajaran penting bagi hamba yang hendak meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Di antara peristiwa penting yang terjadi di dalam sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengucapan bai’at, yakni janji setia yang diucapkan oleh sahabat, sebagai manusia-manusia pilihan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan satu hal. Janji-janji kebaikan yang diucapkan oleh generasi terbaik di hadapan manusia terbaik di dunia. Janji-janji itu tidak hanya berlaku dan diamalkan oleh para sahabat saja. Tetapi janji-janji itu pun harus diamalkan oleh setiap muslim yang ingin mengikuti jejak generasi terbaik umat ini.
Sejarah telah mencatat sekian banyak janji setia setiap muslim dengan para sahabat sebagai barisan yang terdepan. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang bai’at untuk selalu bersikap sabar. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha tentang janji setia setiap muslim untuk tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meratapi kematian seseorang. Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu tentang janji setia setiap muslim untuk senantiasa bersikap taat dan mendengar terhadap penguasa dalam keadaan apapun. Ada juga hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan:
باَيَعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَهْطٍ فَقَالَ: أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأُخِذَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ وَطُهُورٌ وَمَنْ سَتَرَهُ اللهُ فَذَلِكَ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Aku mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa sahabat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at kalian untuk tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian serta tidak akan mendurhakai diriku dalam urusan yang baik. Maka barangsiapa memenuhi janji-janji ini niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi pahala untuknya. Dan barangsiapa yang melanggar janji-janji ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya di dunia maka hukuman itu adalah kaffarah dan pembersih dirinya. Barangsiapa yang pelanggarannya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka urusannya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diazab dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diampuni.”
Seluruh bai’at yang telah diucapkan sahabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berlaku bagi mereka saja. Bai’at-bai’at tersebut sekaligus warisan yang harus diteguhkan dan diwujudkan oleh setiap muslim yang hidup setelah mereka sebagai janji setia. Janji setia yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena janji setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk janji setia kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath:10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata di dalam Syarah Riyadhus Shalihin, “Apabila seorang sahabat mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu maka hal itu tidak hanya berlaku khusus terhadap sahabat tersebut. Bentuk bai’at itu berlaku secara umum untuk seluruh kaum muslimin. Maka seluruh kaum muslimin memiliki beban bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush kepada sesama muslim, termasuk juga untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat.”

Makna hadits
Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa tiga hal yang disebutkan di dalam hadits ini sesungguhnya menunjukkan bahwa kewajiban setiap muslim terbagi menjadi tiga macam. Terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala murni, hak manusia murni, dan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus hak manusia.
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala murni adalah penegakan shalat. Yang dimaksud dengan penegakan shalat adalah melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan syariat dengan memerhatikan waktu pelaksanaannya, rukun-rukun, syarat-syarat, dan kewajiban-kewajiban shalat. Lalu berusaha untuk menyempurnakannya dengan hal-hal yang mustahab (sunnah).
Bagi laki-laki, sebagai bentuk penegakan shalat adalah melaksanakannya secara berjamaah di masjid. Barangsiapa meninggalkan jamaah tanpa udzur maka ia telah berdosa. Bahkan sebagian ulama seperti Syaikhul Islam rahimahullahu berpendapat bahwa shalat orang yang meninggalkan jamaah tanpa udzur maka shalatnya batil, tidak sah dan tidak diterima. Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa shalatnya tetap sah dan ia berdosa. Pendapat inilah yang pendapat yang benar. Sehingga yang meninggalkan jamaah tanpa udzur maka shalatnya tetap sah namun ia mendapatkan dosa. (Syarah Riyaadhus Shalihin)
Ibadah shalat adalah bentuk kedekatan seorang hamba dengan Sang Pencipta. Dengan shalat ia akan bermunajat di hadapan-Nya, berkeluh kesah, meminta dan berharap. Alangkah indahnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ؛ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي؛ وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي؛ وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ؛ قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي -وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي- فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ؛ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ؛ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berfirman: “Aku membagi shalat (surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Apabila seorang hamba mengucapkan, “Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila hamba-Ku mengucapkan, “Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku benar-benar telah menyanjung-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan, “Maaliki yaumiddiin.” Maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan Aku.” Apabila hamba itu mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika hamba tersebut mengucapkan, “Ihdinash shiraatal mustaqiim, shiraatal ladziiina an’amta ‘alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladh dhaalliin.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.”
Shalat benar-benar penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena shalat adalah barometer amalannya yang lain. Bila shalatnya baik tentu amalannya yang lain pun baik, jika shalatnya buruk pasti buruk pula amalannya yang lain. Di masa Ahlul Hadits, setiap penuntut ilmu hadits akan melihat shalat orang yang akan diangkatnya menjadi guru. Apabila shalatnya baik maka ia akan menimba ilmu darinya, namun jika shalatnya buruk ia akan ditinggalkan.
Abu Dawud rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Al-Albani dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalat. Allah berfirman kepada para malaikat, dan Allah Maha mengetahui, ‘Lihatlah shalat hamba-Ku, sempurna ataukah kurang?’ Jika shalatnya sempurna maka akan dicatat dengan sempurna pula, bila kurang demikian pula akan dicatat kurang. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Perhatikanlah shalat-shalat sunnah hamba-Ku, jika ia memiliki amalan shalat sunnah maka jadikanlah penyempurna shalat wajibnya.’ Kemudian amalan-amalan kalian akan diambil dengan hal tersebut.”
Demikian juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalat. Apabila shalatnya baik tentu seluruh amalannya yang lain pun baik. Tetapi bila shalatnya jelek maka seluruh amalannya pun tentu jelek.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 3/343)
Hamba yang gemar kebaikan akan merasa tenang dan damai ketika ia dalam keadaan shalat, terlebih dalam keadaan sujud karena puncak kedekatan hamba dengan Rabb-Nya di saat ia sujud. Adapun hamba yang lalai akan terasa berat untuk menegakkan shalat. Shalat yang ia senangi adalah shalat yang paling cepat. Ketika dalam keadaan shalat, ia merasa sedang berdiri di atas bara api.
Untuk mewujudkan shalat yang khusyu’ harus dilandaskan keikhlasan dan mutaba’ah, yaitu sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tugas setiap muslim adalah mewujudkan janji setianya untuk menegakkan shalat dengan mempelajari tuntunan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits yang terkait dengan pelaksanaan shalat demikian banyaknya. Setiap muslim harusnya disibukkan dengan bai’at-bai’at yang telah diucapkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukannya disibukkan untuk memikirkan bai’at-bai’at baru dalam setiap kelompoknya. Waktu kita terlalu sedikit untuk memaparkan bentuk-bentuk bai’at baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti bai’at yang ada pada Ikhwanul Muslimin, Jamaah Jihad, LDII, Hizbut Tahrir, atau kelompok lainnya.

Menunaikan zakat
Adapun yang dimaksud dengan menunaikan zakat adalah menyerahkan zakat kepada yang berhak. Zakat adalah amalan yang terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak sesama manusia. Dikatakan terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena zakat adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kaum muslimin sekaligus salah satu dari rukun Islam. Dikatakan terkait dengan hak sesama manusia, karena zakat disyariatkan untuk membantu sesama di dalam menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya. Pembahasan zakat secara lengkap telah disampaikan dalam Asy-Syari’ah Vol. V/No. 54/1430H/2009.

Nush (berniat baik) kepada sesama muslim
An-Nush adalah nama lain untuk nasihat. Yang dimaksud dengan bersikap nush kepada sesama muslim telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari-Muslim:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Belumlah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian kecuali ia telah bersikap menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan itu untuk dirinya sendiri.”
Sehingga setiap muslim berusaha agar saudaranya mendapatkan kebaikan seperti kebaikan yang ia rasakan, sebagaimana ia berusaha agar saudaranya terhindar dari keburukan layaknya ketika ia ingin terhindar dari keburukan tersebut. Ia merasa bahagia dengan kebahagiaan yang dirasakan saudaranya, serta turut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh saudaranya. Ia bersikap baik kepada saudaranya sebagaimana ia menuntut saudaranya untuk bersikap baik terhadapnya.
Marilah kita melihat bentuk pengamalan sikap nush kepada sesama muslim yang ditunjukkan oleh Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu sebagai perawi hadits. Al-Imam Ath-Thabarani rahimahullahu meriwayatkan bahwa Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah membeli seekor kuda senilai 300 dirham. Setelah dicoba, Jarir menemui si penjual dan mengatakan, “Sebenarnya kudamu lebih mahal dari harga yang engkau tetapkan. Bagaimana jika aku memberimu 400 dirham?” Si penjual menjawab, ”Itu terserah kamu, wahai Jarir.” Setelah dicoba untuk kedua kalinya, Jarir menyampaikan kepada si penjual bahwa, ”Kuda itu seharusnya diberi harga lebih dari 400 dirham. Maukah engkau jika aku memberimu 500 dirham?” Si penjual mengatakan, “Terserah kamu, wahai Jarir.” Kejadian ini terulang kembali hingga akhirnya Jarir memberikan 800 dirham kepada si penjual. Ketika ditanyakan kepada Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang hal ini beliau menjawab, “Aku telah mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush kepada sesama muslim.”

Nush (berniat baik) kepada pemerintah
Terkait dengan keadaan kaum muslimin di akhir zaman ini, kiranya penting sekali untuk ditekankan perihal menyampaikan nasihat kepada pemerintah. Karena memberikan nasihat tidaklah sama caranya antara satu dengan yang lain. Menyampaikan nasihat kepada orangtua tentu berbeda dengan kepada tetangga. Sebagaimana berbeda pula antara memberikan nasihat kepada pemerintah dengan kepada masyarakat biasa. Kepada pemerintah hendaknya nasihat disampaikan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Secara diam-diam dan rahasia, bukan dengan mengumbar aib dan kekurangan mereka di hadapan khalayak umum. Apalagi disebarkan melalui media massa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan cara menyampaikan nasihat kepada pemerintah di dalam hadits ‘Iyadh bin Ghunm radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa janganlah menyampaikannya dengan terang-terangan. Hendaknya ia memegang tangan penguasa, jika penguasa mau menerima nasihat maka itulah yang diinginkan namun bila penguasa menolak maka ia telah menjalankan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, dan yang lain. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah hal. 507)
Dengan demikian, Islam tidak membenarkan aksi-aksi unjuk rasa dan demonstrasi untuk menentang kebijakan pemerintah, menyampaikan kritikan atau “aspirasi” rakyat kepada pemerintah. Cara-cara yang demikian termasuk tipu daya setan yang hanya akan memperburuk keadaan. Lihatlah contoh yang ditunjukkan oleh para sahabat di dalam atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada seseorang yang menyampaikan kepada beliau, ”Mengapa anda tidak menemui Utsman untuk memberikan nasihat?” Maka Usamah menjawab, ”Apakah kalian menginginkan agar aku memberitahu kalian jika aku telah memberikan nasihat kepada Utsman? Demi Allah, aku telah berbicara dengan Utsman. Hanya aku dan dia saja.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyebutkan atsar dari Sa’id bin Jahman, beliau berkata: Aku pernah menemui Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah buta. Setelah aku mengucapkan salam beliau bertanya, “Siapakah dirimu?” Aku menjawab, “Namaku Sa’id bin Jahman.” Lalu aku menceritakan tentang kezaliman dan kelaliman penguasa pada masa itu. Maka tanganku dipegang erat oleh Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu sambil mengatakan, ”Celaka engkau wahai Ibnu Jahman. Jika memang penguasa mau mendengarkan ucapanmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang engkau ketahui. Jika ia menerima apa yang engkau sampaikan maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia menolak, maka belum tentu engkau lebih mengetahui daripada penguasa.”
Al-Imam Ibnu An-Nahas rahimahullahu berkata, ”Berbicara dengan penguasa dengan cara diam-diam lebih dipilih daripada berbicara di hadapan khalayak umum. Bahkan semestinya ia berusaha untuk berbicara dengan penguasa secara rahasia dan menyampaikan nasihat dengan cara tersembunyi, sehingga tidak ada pihak ketiga yang mengetahuinya.” (Tanbihul Ghafilin hal. 64)
Maka seharusnya setiap muslim mengingat kembali janji-janji setia yang telah diucapkan melalui lisan para sahabat. Seharusnya setiap muslim menyibukkan diri untuk melaksanakan bai’at-bai’at yang telah diteguhkan oleh para sahabat. Bukannya mencari bentuk-bentuk bai’at baru yang ada pada kelompok dan firqahnya. Apakah kita tidak merasa cukup dengan bai’at-bai’at para sahabat?
Al-Ajurri rahimahullahu berkata, ”Tidak pantas seseorang dikatakan memiliki sikap nush bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum, melainkan ia harus memulai dengan dirinya terlebih dahulu. Bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu dan fiqih agar ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan atasnya. Agar ia mengerti juga akan permusuhan setan kepada dirinya sehingga ia dapat berusaha untuk menghindar. Agar ia mengerti keburukan-keburukan yang diinginkan oleh jiwanya sehingga ia dapat mengusirnya dengan ilmu.” (Basha’ir Dzawit Tamyiz 5/67)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Persatuan adalah Rahmat, Perpecahan adalah Adzab

Persatuan adalah Rahmat, Perpecahan adalah Adzab

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119)

Penjelasan mufradat ayat

“Dia menjadikan manusia umat yang satu.”
Kata ﭖ (umat) disebutkan dan terulang dalam Al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari salah satu makna berikut ini:
- Bermakna thaifah, yaitu jamaah (kelompok orang). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thagut itu.” (An-Nahl: 36)
- Bermakna imam (pemimpin yang dapat dijadikan teladan). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah, lagi hanif.” (An-Nahl: 120)
- Bermakna millah (agama, ajaran). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama.” (Az-Zukhruf: 23)
- Bermakna zaman (masa, waktu). Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya.” (Yusuf: 45)
Adapun kata umat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir ayat kali ini, mengandung arti millah (agama, ajaran).
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu (ketika menafsirkan ayat ini) menyebutkan beberapa pendapat tentang makna umat dalam ayat ini. Sa’id bin Jubair rahimahullahu mengatakan bahwa maknanya adalah semua menganut agama Islam.
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata: “Semuanya menjadi penganut agama yang satu, baik sebagai penganut kesesatan atau sebagai penganut kebenaran.”
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu (lihat pada tafsir ayat ini) berkata: “Mereka semua jamaah yang satu, menganut millah dan agama yang satu (sama).” Kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Qatadah, ia berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka muslim semuanya.” Pendapat yang semisal juga dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana riwayat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam kitab tafsirnya.

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata berselisih dalam ayat ini:
1. Ada yang berpendapat maknanya adalah berbeda-beda dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, dan madzhab mereka. Sehingga manusia senantiasa berada di atas (menganut) agama yang berbeda-beda, dari mulai agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan musyrik. Pernyataan ini diucapkan oleh Mujahid dan Qatadah rahimahumallah.
2. Maknanya adalah berbeda dalam hal rezeki. Sebagian mereka ada yang kaya, ada yang miskin, sebagian mereka merendahkan sebagian yang lain. Al-Alusi rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Ini pendapat yang gharib (asing).”
3. Maknanya adalah sebagian menjadi pengikut kebenaran dan sebagian menjadi pengikut kebatilan. Sehingga para pengikut kebatilan senantiasa menyelisihi pengikut kebenaran.
4. Maknanya, ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu) senantiasa menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan yang menyimpang, sehingga mengantarkan mereka ke dalam neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya. Adapun kesesatan (kesalahan) ada pada pendapat orang lain.

“Kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu.”
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Akan tetapi orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Al-Hasan rahimahullahu: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati tidak akan berselisih.”
Mujahid rahimahullahu berkata: “Mereka adalah ahlul haq (pengikut kebenaran).”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi pengikut para rasul, berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama yang telah diberitakan para rasul kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata dalam Majmu’ Fatawa (4/25): “Mereka adalah pengikut para nabi, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Mereka adalah ahlul Qur’an dan ahlul hadits dari kalangan umat ini. Maka siapa pun yang menyelisihi mereka dalam sebuah perkara, luputlah darinya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kadar penyelisihannya terhadap perkara tersebut.

“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.”
Asyhab berkata: “Aku bertanya kepada Al-Imam Malik rahimahullahu tentang tafsir ayat ini, beliau menjawab: ‘Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka supaya ada kelompok yang masuk ke dalam jannah dan ada kelompok yang masuk ke dalam neraka’.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Untuk ikhtilaf (berselisih)lah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Untuk rahmat mereka diciptakan.” Di sebagian riwayat lain beliau berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka sebagian menjadi penduduk jannah, sebagian menjadi penduduk neraka. Sebagian ada yang celaka, sebagian ada yang bahagia.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka menjadi dua golongan. Hal itu seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.” (Hud: 105)
Thawus rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan mereka untuk berselisih, akan tetapi menciptakan mereka untuk bersatu dan rahmat.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Untuk rahmatlah mereka itu diciptakan dan tidak untuk azab.”

Penjelasan makna ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut agama Islam. Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Allah l menetapkan mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada pada pendapat selainnya. “Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu” maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk mereka kepada ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan urusannya kepada diri mereka masing-masing. “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka,” hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat) dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada pula golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia, berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan adanya sebuah ujian dan cobaan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, pada surat Hud: 118-119)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ia mampu untuk menjadikan manusia semuanya menjadi umat yang satu, baik di atas keimanan ataupun di atas kekufuran. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan jikalau Rabbmu menghendaki tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya.” (Yunus: 99)

Persatuan merupakan perkara yang prinsip dalam agama
Dalam Islam dikenal adanya perkara-perkara yang prinsip dan mendasar, yang sangat penting untuk diketahui bersama. Salah satu prinsip tersebut adalah persatuan (di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful ummah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu dalam risalahnya Al-Ushul As-Sittah (Enam Prinsip Agama) menyebutkan: “Adapun prinsip yang kedua adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan persatuan dalam agama dan melarang dari perpecahan.” Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 24-26): “Prinsip ini ada pada Al-Qur’anul Karim.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat, di antaranya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Kemudian beliau berkata: “Kaum muslimin tidak boleh bercerai-berai dalam agama mereka. Yang wajib adalah mereka menjadi umat yang satu di atas tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabb kalian maka sembahlah Aku. (Al-Anbiya’: 92)
Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh terpecah-belah dalam aqidah, ibadah, dan hukum agama mereka. Satu mengatakan halal, yang lain mengatakan haram tanpa disertai dalil. Yang demikian ini tidak diperbolehkan. Tidak diragukan bahwasanya perselisihan adalah bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Namun perselisihan hendaknya diselesaikan, yaitu diputuskan dengan mengembalikan perkaranya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga apabila terjadi perselisihan antara saya dengan anda, wajib atas kita semua untuk mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa’: 59)
Adapun pernyataan bahwa masing-masing (berhak) mempertahankan madzhab (pendapat)nya, masing-masing (berhak) mempertahankan aqidahnya, manusia bebas dalam berpendapat, menuntut kebebasan dalam beraqidah, kebebasan dalam berucap; ini adalah kebatilan (tidak benar) dan termasuk perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang, sebagaimana firman-Nya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

Persatuan adalah rahmat sekaligus karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung
Seperti yang tersebut dalam penjelasan di atas, persatuan umat adalah suatu perkara yang mulia, dan hal itu semata-mata rahmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Sebagaimana yang tersebut dalam ayat:

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala rahmati dengan iman dan petunjuk, mereka tidak akan berselisih.”
Termasuk karunia agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada hamba-Nya adalah Allah l menurunkan syariat kepada mereka dengan sebuah agama terbaik dan termulia, yang paling bersih dan paling suci, yaitu agama Islam. Agama tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-hamba pilihan-Nya dan yang bagus, bahkan yang paling bagus dan yang paling terpilih. Mereka adalah ulul azmi dari para rasul. Mereka adalah makhluk yang paling tinggi derajatnya dan paling sempurna dari segala sisi. Maka, agama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk mereka, mengharuskan adanya sisi keserasian dengan keadaan mereka. Sesuai dengan kesempurnaan mereka. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan dan memilih mereka, karena mereka menegakkan (menjalankan) agama itu. Kalau bukan agama Islam, tidaklah seorang pun terangkat derajatnya dari yang lain. Ia merupakan inti kebahagiaan, poros utama kesempurnaan.
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menegakkan (melaksanakan) syariat-syariat agama, baik yang prinsip maupun yang cabang. Ditegakkan pada diri mereka masing-masing dan berupaya untuk ditegakkan pada yang lainnya. Saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran. Maka Allah l perintahkan agar tidak berselisih di dalamnya, untuk meraih kata sepakat di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, berupayalah agar setiap permasalahan tidak menyebabkan berpecah-belahnya dan terkotak-kotaknya kalian. Masing-masing membanggakan kelompoknya. Sebagian memusuhi yang lain, meskipun di atas agama yang satu.
Di antara jenis persatuan di atas agama dan tidak mengandung perselisihan adalah apa yang diperintahkan syariat untuk bersatu pada perkumpulan yang bersifat umum. Seperti persatuan dalam pelaksanaan ibadah haji, pelaksanaan Iedul Fitri, Iedul Adha dan shalat Jum’at, shalat berjamaah lima waktu, jihad, dan ibadah-ibadah lainnya, yang tidak sempurna kecuali dengan persatuan dan menghindari perselisihan padanya. (Taisir Al-Karimir Rahman pada ayat 13 dari surat Asy-Syura)

Perpecahan adalah suatu kepastian
Salah satu ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa diingkari yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan manusia dalam keadaan senantiasa berselisih pendapat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat:

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (Hud: 118)
Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan.” (Hasan Shahih, HR. Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2778 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hikmah dari ketetapan bahwa umat ini akan senantiasa berselisih, Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah akan menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata pada tafsir surat Hud ayat 119: “Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan (senantiasa berselisih) agar ada dari sebagian mereka yang bahagia dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada golongan yang tersesat. Demikian pula agar nampak keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi dari tabiat manusia berupa hal yang baik dan yang buruk, serta tegaknya jihad dan ibadah yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan melewati sebuah ujian dan cobaan.”

Perpecahan adalah azab
Sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan akan terjadinya perselisihan pada hamba-hamba-Nya. Namun hal ini bukanlah menjadi hujjah (alasan) untuk senantiasa bangga dan senang hidup di atas perselisihan. Karena pada ayat-ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan celaan terhadap perselisihan dan melarang menyerupai kaum musyrikin serta memerintahkan kepada persatuan.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasa’il (hal. 27-28): “Perselisihan bukanlah rahmat. Perselisihan adalah azab.”
Kemudian beliau menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Ali ‘Imran: 105)
Maka perselisihan mengakibatkan tercerai-berainya hati dan terpecah-belahnya umat. Apabila telah terjadi perselisihan, tidak mungkin bagi manusia untuk tolong-menolong, bantu-membantu. Bahkan yang akan terjadi sesama mereka adalah permusuhan, fanatisme (ta’ashub) kepada golongan dan kelompoknya. Tidak akan pernah terjadi bentuk ta’awun. Karena ta’awun itu akan terjadi apabila mereka bersatu, berpegang teguh kepada tali (agama) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini pulalah yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai atas kalian tiga perkara: beribadah hanya kepada-Nya dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, berpegang teguh semuanya kepada tali agama Allah dan tidak bercerai-berai, serta menaati orang yang Allah menguasakan padanya urusan kalian kepadanya.” (HR. Muslim dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits ini, yang menjadi pembahasan kita adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “berpegang teguhlah kepada tali agama Allah semuanya dan jangan bercerai-berai.” Hadits ini bukanlah bermakna tidak akan dijumpai perselisihan dan perpecahan, karena tabiat manusia adalah adanya perselisihan. Namun maknanya adalah apabila terjadi perselisihan atau perbedaan, hendaknya diselesaikan dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sehingga berakhirlah perseteruan dan perselisihan. Inilah yang benar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah.” (Al-An’am: 159)

Orang yang dirahmati dijauhkan dari perselisihan
Qatadah rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang bersatu, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka berjauhan atau berpisah. Adapun orang-orang yang durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang berselisih walaupun tempat tinggal dan badan mereka bersatu.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Orang yang dirahmati (yakni yang terhindar dari perselisihan) adalah pengikut para rasul yang berpegang teguh dengan apa yang diperintahkan dalam agama-Nya, yaitu agama yang ajarannya telah diberitakan para rasul kepada mereka. Keteguhan ini terus senantiasa terjaga hingga datangnya Rasul dan Nabi yang terakhir (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menolongnya, sehingga mereka menjadi orang yang beruntung dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itu karena mereka adalah kelompok yang selamat (Al-Firqatun Najiyah), seperti yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Musnad dan Sunan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Nasrani terpecah 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya: “Siapa mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Siapapun yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku ada padanya.” (HR. Abu Dawud no. 3980, At-Tirmidzi no. 2778)

Hakikat persatuan dan solusi dari perpecahan
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata dalam Silsilah Syarh Rasail (hal. 26-27): “Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala tidaklah membiarkan hamba-Nya berselisih dan berbeda pendapat tanpa meletakkan kepada kita timbangan dan solusi guna memperjelas kebenaran dari suatu kesalahan. Bahkan Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).” (An-Nisa: 59)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, jika kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Malik)
Seolah-olah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada di antara kita, dengan adanya Sunnah (hadits) yang jelas dan terjaga keshahihannya. Ini merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas umat ini, di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan mereka dalam kebingungan. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan mereka dalam keadaan di sisi mereka ada sesuatu yang membimbing mereka di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran.
Adapun orang yang tidak menghendaki kebenaran dan ingin agar masing-masing dibiarkan pada madzhab, kepercayaan, dan keyakinannya, berkata: “Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakat padanya dan kita saling memberikan toleransi atas sebagian yang lain dalam hal yang kita berselisih padanya.” Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah ucapan yang batil dan keliru. Yang wajib adalah bersatu di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Perkara yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Tidak boleh sebagian kita memberikan udzur atas sebagian yang lain dalam keadaan tinggal di atas perselisihan. Yang wajib adalah mengembalikannya kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Barangsiapa yang sesuai dengan kebenaran, kita ambil. Sedangkan yang salah harus kembali kepada kebenaran. Inilah yang wajib atas kita semua. Jangan biarkan umat dalam keadaan berselisih.
Mungkin mereka, para penyeru persatuan yang semu ini dan yang membiarkan umat dalam kondisi berselisih, berhujjah dengan hadits:

“Perselisihan yang terjadi pada umatku adalah rahmat.”
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan, tetapi tidak shahih1.
Kemudian Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah sebagai penengah atau pemutus perkara sebatas pada perselisihan yang terjadi dalam hal harta manusia, dan menjadi penegak hukum bagi mereka dalam harta serta perselisihan mereka dalam hal yang sifatnya dunawi semata. Bahkan keduanya adalah penegak hukum di antara mereka dalam setiap perselisihan dan pertentangan. Pertentangan dalam urusan aqidah lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam perkara harta. Pertentangan dalam urusan ibadah, urusan halal dan haram lebih kuat dan lebih penting ketimbang pertentangan dalam urusan harta. Urusan pertentangan dalam masalah harta hanyalah bagian atau sebagian kecil dari perselisihan yang putusannya wajib berdasarkan Kitabullah.
Pada masa dahulu, terjadi perselisihan di antara para sahabat g. Akan tetapi begitu cepatnya mereka itu menyelesaikan dan mencari solusinya, dengan mengembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga berakhirlah perselisihan mereka.
Terjadi perselisihan di antara mereka setelah meninggalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar masalah siapa yang pantas menjadi Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun betapa cepatnya mereka memutuskan perselisihan dan mengembalikan serta memercayakan urusan tersebut kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun menerima dan menaati Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dan sirnalah perselisihan.
Sesungguhnya, kembali kepada Kitabullah akan menghilangkan sifat dendam dan dengki, maka tidak boleh seorang pun menyanggah Kitabullah. Karena jika Anda mengatakan kepada seseorang: “Mari kita berpegang kepada pendapat Imam Fulan atau ‘Alim Fulan,” tentunya dia tidak akan merasa puas. Akan tetapi kalau Anda katakan kepadanya: “Mari kita kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,” jika dalam dirinya ada keimanan ia akan merasa puas dan rujuk dari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum dan mengadili di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Inilah jawaban orang-orang mukmin (jika diseru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya). Adapun orang-orang munafik, apabila kebenaran bermanfaat dan membenarkan apa yang pada mereka, mereka akan datang dan mendengarkan dengan saksama. Akan tetapi jika kebenaran menyalahi mereka, mereka akan berpaling dan menentang, sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan tentang keadaan mereka.
Sehingga tidak ada celah bagi kaum mukminin untuk tetap mempertahankan dan tinggal pada perselisihan, tidak dalam perkara ushul (pokok) dan tidak pula dalam perkara furu’ (cabang). Jika terjadi perselisihan hendaknya semuanya diputuskan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian apabila tidak nampak jelas dalil bersama salah satu ulama yang berijtihad, dan masalah menjadi seimbang, tidak ada yang dikuatkan atau tidak menguatkan pendapat salah seorang pun atas yang lain, maka pada kondisi seperti ini seseorang tidak boleh mengingkari pendapat imam tertentu. Dari sinilah ulama berkata: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihad,” yaitu masalah yang tidak nampak jelas kebenarannya bersama salah satu dari kedua belah pihak.

Faidah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, pada pasal yang menjelaskan macam-macam perselisihan: “Adapun jenis perselisihan pada asalnya dibagi dua; ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan keberagaman) dan ikhtilaf tadhad (perbedaan yang saling bertolak belakang).
Ikhtilaf tanawwu’, ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Keadaan di mana masing-masing pihak membawa kebenaran yang disyariatkan. Seperti perselisihan dalam qiraat (Al-Qur’an) yang terjadi di kalangan para sahabat. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dengan keras tentang perselisihan ini, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kedua-duanya bagus.”
2. Keadaan di mana masing-masing pendapat pada kenyataannya sama secara makna, akan tetapi ungkapan yang dipakai atau digunakan berbeda.
3. Apabila terjadi perbedaan dan masing-masing menggunakan ungkapan yang maknanya berbeda, akan tetapi tidak bertolak belakang, maka pendapat yang ini benar dan pendapat yang itu juga benar. Makna ungkapan yang dipakai pihak satu berbeda dengan pihak yang yang kedua, dan hal ini cukup banyak terjadi pada perdebatan.
4. Keadaan di mana masing-masing menempuh jalan yang disyariatkan, namun satu kaum menempuh satu jalan, kaum yang lain menempuh jalan yang lainnya, dan keduanya bagus dalam agama. Kemudian kejahilan atau kezaliman mendorong mereka untuk mencela terhadap salah satunya, atau memuliakan tanpa maksud yang benar, atau karena ketidaktahuan atau tanpa kesengajaan.
Adapun ikhtilaf tadhad adalah dua pendapat yang bertolak belakang, baik dalam perkara ushul maupun perkara furu’, menurut jumhur ulama, mereka mengatakan yang benar hanya satu. Adapun pendapat yang mengatakan setiap mujtahid benar, maka ini maknanya mujtahid yang berselisih dalam ikhtilaf tanawwu’, bukan ikhtilaf tadhad. Perkara ikhtilaf tadhad ini lebih sulit, karena kedua belah pihak membawa pendapat yang bertentangan (saling menjatuhkan). Misalnya antara sunnah dan bid’ah, antara halal dan haram.
Ikhtilaf yang kita sebut ikhtilaf tanawwu’, masing-masing dari kedua belah pihak benar tanpa diragukan. Namun celaan tetap tertuju kepada orang yang membenci pendapat yang lain, karena Al-Qur’an telah memuji kedua belah pihak, selama tidak terjadi penentangan dari salah satu pihak.
Kemudian, jenis ikhtilaf yang ketiga adalah ikhtilaf afham (perbedaan pemahaman). Hal ini sebagaimana yang disepakati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari penyerangan terhadap Bani Quraizhah di mana beliau berpesan agar tidak boleh seorang pun shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah. Maka sebagian mereka melakukan shalat ashar pada waktunya, sedangkan yang lain mengakhirkannya hingga sampai ke Bani Quraizhah. Juga sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar ijtihadnya, dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila berijtihad dan tidak benar ijtihadnya, dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang semisal ini cukup banyak.
Jenis ikhtilaf yang tidak tercela adalah ikhtilaf tanawwu’ dan ikhtilaf afham. Adapun yang tercela dan diharamkan adalah ikhtilaf tadhad. Jenis ikhtilaf inilah yang Al-Qur’an dan As-Sunnah menyebutnya dengan ancaman yang keras bagi pelakunya.
Wallahu a’lam.