Kamis, 29 Juli 2010

Konsekuensi Bai’at

Apabila seorang muslim telah berbai’at kepada pemimpin yang sah, maka konsekuensi dari bai’at tersebut adalah:
1) Mendengar dan taat
Telah kami sebutkan sebagian dalil tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang sah. Namun ada beberapa keadaan di mana seseorang tidak wajib untuk menaati pemimpin. Di antaranya:
a) Apabila pemimpin memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 6726, Muslim no. 1840, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.”
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Mendengar dan taat adalah benar selama tidak diperintah melakukan kemaksiatan. Jika diperintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 2796, Muslim no. 1839, dari sahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
b) Di luar batas kemampuan. Sebagaimana perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Adalah kami jika berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, beliau berkata kepada kami: ‘Sesuai kemampuan kalian’.” (HR. Al-Bukhari no. 6776)
c) Jika terlihat kekufuran yang nyata dan jelas dari pemimpin tersebut. Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata:
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) membai’at kami agar senantiasa mendengar dan taat baik di saat kami semangat ataupun terpaksa, sulit ataupun mudah, serta tatkala mereka merampas hak-hak kami, dan agar kami tidak melepaskan ketaatan kepadanya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki hujjah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6647, Muslim no. 1709)
Hadits ini dengan tegas menunjukkan bahwa selama imam adalah seorang muslim, maka wajib taat kepadanya meskipun dia fasiq dan zalim. Di sinilah letak ketergelinciran kaum Khawarij, yang terlalu mudah memvonis kafir terhadap penguasa yang zalim, dengan sebab berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa melihat rincian permasalahannya.

2) Mendoakan kebaikan untuk penguasa
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu berkata, “Jikalau sekiranya aku memiliki doa yang dikabulkan maka aku tidak memberikannya kecuali kepada imam (penguasa).” Ada yang bertanya kepadanya, “Mengapa demikian, wahai Abu Ali (kunyah Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullahu, red.)?” Beliau menjawab, “Mengapa aku tidak menjadikannya untuk diriku? (Karena) maslahatnya tidak melampaui diriku. Namun jika aku menjadikannya untuk imam, maka kebaikan seorang imam adalah kebaikan bagi para hamba (masyarakat) dan negeri.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 8/91)
Al-Barbahari rahimahullahu mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia seorang pengikut hawa nafsu. Jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah, Al-Hasan bin ‘Ali Al-Barbahari, hal. 212, bersama Irsyadus Sari, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullahu)
Al-’Allamah An-Najmi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Barbahari tersebut: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Al-Imam Al-Barbahari. Ini adalah tanda yang jelas bagi kaum hizbiyyun, bahwa mereka mendoakan kejelekan untuk penguasa dan tidak mendoakan kebaikan.” (Irsyadus Sari, An-Najmi, hal. 212)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Mendoakan kebaikan untuk penguasa termasuk pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling utama dan bentuk ketaatan yang paling afdhal.” (Muraja’at fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri, Asy-Syaikh Ibnu Baz hal. 30. Lihat kitab Ittikhadzul Qur’an Al-Karim Asasan, Shalih As-Sadlan hal. 45, Al-Maktabah Asy-Syamilah)

3) Menasihati penguasa dengan cara yang hikmah
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata:
مِنْ مُقْتَضَى الْبَيْعَةِ النُّصْحُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ، وَمِنَ النُّصْحِ الدُّعَاءُ لَهُ بِالتَّوْفِيقِ وَالْهِدَايَةِ وَصَلَاحِ النِّيَّةِ وَالْعَمَلِ وَصَلَاحِ الْبِطَانَةِ
“Di antara konsekuensi bai’at adalah menasihati waliyyul amri. Di antara bentuk nasihat adalah mendoakan kebaikan untuknya agar diberi taufik, hidayah, keshalihan niat dan amal, serta mendapatkan sahabat yang shalih.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibn Baz, 8/390, Al-Maktabah Asy-Syamilah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa tentang satu hal, maka jangan dia menampakkannya secara terang-terangan. Hendaknya dia mengambil tangannya dan berduaan dengannya. Jika dia menerima maka itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah, 2/522, dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm radhiyallahu ‘anh
u)

Bagaimana Seseorang Berbai’at?

Dalam berbai’at, ada beberapa cara yang bisa dilakukan:

Jabatan tangan yang disertai ucapan
Yaitu dengan mendatangi seorang yang dibai’at dan berjabat tangan dengannya lalu mengucapkan pernyataan bai’atnya. Ini yang biasa dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi dan orang yang memungkinkan untuk datang kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa yang membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya maka hendaknya dia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu (yang memenggal adalah pemerintah yang sah, red.).” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Kata shafqah berasal dari kata tashfiq bil yad yaitu menepuk dengan tangan. Sebab dua orang yang saling berbai’at meletakkan tangannya di tangan yang lainnya ketika bersumpah dan berbai’at. (Lihat ‘Aunul Ma’bud,11/214, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, Ibnul Atsir, 3/38)

Ucapan tanpa jabatan tangan
Seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at dari para wanita. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata setelah menyebutkan poin-poin bai’at:
وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ وَمَا بَايَعَهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ
“Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita sekalipun dalam membai’at. Beliau tidak membai’at mereka melainkan hanya dengan ucapan.” (HR. Al-Bukhari no. 2564, Muslim no. 1866. Lafadz ini dari riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu)

Utusan amir
Ini berlaku bagi orang yang memiliki udzur untuk bai’at secara langsung, seperti orang yang terkena penyakit lepra. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata: “Di antara utusan Tsaqif ada seseorang yang terkena penyakit lepra, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya untuk mengatakan kepadanya: ‘Pulanglah, sungguh aku telah membai’atmu’.” (HR. Muslim no. 2231)

Mengirim surat
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tatkala menyatakan bai’at kepada Abdul Malik bin Marwan melalui surat yang dikirimkan kepadanya. (Diriwayatkan Al-Bukhari no. 7203)
Juga sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Najasyi, di mana beliau menulis surat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan: “Bismillahirrahmanirrahim. Kepada Muhammad Rasulullah, dari An-Najasyi Al-Asham bin Abjar. Salamun alaika, wahai Nabi Allah, dari Allah warahmatullahi wabarakatuh. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia yang telah memberi petunjuk kepadaku. Telah sampai kepadaku suratmu, wahai Rasulullah, tentang apa yang engkau sebutkan perihal Isa q. Demi Rabb pemilik langit dan bumi, sesungguhnya Isa tidak lebih dari apa yang telah engkau sebutkan. Dan kami telah mengetahui apa yang engkau utus kepada kami. Kami telah menjamu anak pamanmu (Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, pen.) dan para sahabatnya. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah yang jujur dan dibenarkan. Aku telah berba’iat kepadamu, dan berbai’at kepada anak pamanmu. Dan aku telah berserah diri kepada Allah Rabb sekalian alam.” (HR. Al-Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah 2/309, Ibnul Atsir dalam Usdul Ghabah 1/97, Ath-Thabari dalam Tarikhnya 2/132, dari Muhammad bin Ishaq. Namun riwayatnya mu’dhal)
Namun tidak disyaratkan setiap yang menyatakan bai’atnya untuk diharuskan mendatangi pemimpin lalu berbai’at di hadapannya. Bai’at ahlul halli wal ‘aqdi telah mewakili yang lainnya, dengan cukup menampakkan sikap mendengar dan taat. Al-Maziri rahimahulllahu berkata:
يَكْفِي فِي بَيْعَةِ الْإِمَامِ أَنْ يَقَعَ مِنْ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ وَلَا يَجِبُ الْاِسْتِيعَابُ، وَلَا يَلْزَمُ كُلَّ أَحَدٍ أَنْ يَحْضُرَ عِنْدَهُ وَيَضَعَ يَدَهُ فِي يَدِهِ، بَلْ يَكْفِي الْتِزَامُ طَاعَتِهِ وَالْانْقِيَادُ لَهُ بِأَنْ لاَ يُخَالِفَهُ وَلاَ يَشُقَّ الْعَصَا عَلَيْهِ
“Cukup dalam membai’at imam dilakukan pihak ahlul halli wal ‘aqdi dan tidak wajib bagi seluruhnya. Tidak mesti setiap orang harus hadir lalu meletakkan tangannya di tangan (orang yang di bai’at). Namun cukup menyatakan komitmen ketaatan dan tunduk kepadanya dengan tidak menyelisihinya serta tidak merusak persatuan.” (Fathul Bari, 7/494)
An-Nawawi rahimahulllahu berkata pula:
أَمَّا الْبَيْعَةُ فَقَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَةُ كُلِّ النَّاسِ، وَلاَ كُلِّ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ، وَإِنَّمَا يُشْتَرَطُ مُبَايَعَةُ مَنْ تَيَسَّرَ إِجْمَاعُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ وَوُجُوهِ النَّاسِ
“Adapun bai’at, para ulama telah sepakat bahwa tidak disyaratkan sahnya bai’at dengan adanya bai’at dari seluruh manusia, tidak pula dari semua ahlul halli wal ‘aqdi. Hanyalah disyaratkan bai’at mereka yang mudah untuk mencapai kesepakatan mereka dari kalangan para ulama, para pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat.” (Syarah Muslim, An-Nawawi rahimahulllahu, 12/77)

Shighat bai’at
Inti dari shigat bai’at adalah menyatakan untuk senantiasa mendengar dan taat selama dalam perkara kebaikan. Shigat yang disebutkan dalam bai’at sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dikehendaki dalam bai’at tersebut. Apakah bai’at untuk mendengar dan taat, bai’at untuk berjihad, bai’at untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan saling menasihati antara sesama muslim, bai’at untuk berperang hingga titik darah penghabisan, serta yang semisalnya, yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang diamalkan oleh para ulama salaful ummah tatkala mereka berbai’at kepada imam di masanya.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahulllahu dari Abdullah bin Dinar rahimahulllahu, dia berkata: Aku menyaksikan tatkala kaum muslimin sepakat untuk mengangkat Abdul Malik, beliau menulis:
إِنِّي أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, dan sesungguhnya anak-anakku telah menyatakan hal yang sama.” (HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205)

Kapan Bai’at Dianggap Sah?

Bai’at yang dilakukan kepada seseorang dianggap sah jika:

Pertama: pemimpin terdahulu menentukan penggantinya.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyerahkan urusan khilafah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu menurut sebagian pendapat para ulama1. Demikian pula Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu yang telah menyerahkan tampuk khilafah kepada ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan rahiyallahu ‘anhuma yang menyerahkan khilafah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah.

Kedua: ketetapan ahlul halli wal ‘aqdi
Dengan cara berkumpulnya ahlul halli wal ‘aqdi, yang terdiri dari kalangan ulama, orang-orang bijak, dan yang berkompeten dalam bidang pemerintahan. Mereka bermusyawarah untuk menentukan pilihan siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin, seperti yang terjadi pada saat diangkatnya Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu.
Demikian pula ketika ‘Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu menyerahkan urusan khilafah kepada enam orang sahabat yang merupakan bagian dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Mereka adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan g, yang akhirnya mereka sepakat untuk memilih ‘Utsman bin ‘Affan rahiyallahu ‘anhu sebagai khalifah. Demikian pula pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Dalam kedua ketetapan tersebut di atas, ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Ahlul halli wal ‘aqdi adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan:
1) Mempunyai sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik.
2) Berilmu, yang dengannya dia bisa melihat siapa yang berhak menjadi pemimpin.
3) Memiliki pandangan dan sifat bijak dalam menetapkan pemimpin.
(lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6)
Mereka yang berkumpul dalam ahlul halli wal ‘aqdi memerhatikan hal-hal berikut:
1) Orang yang dibai’at harus memenuhi persyaratan secara syar’i untuk diangkat menjadi imam. Syarat-syarat yang berhak menjadi imam adalah:
a) Memiliki sifat adil (keshalihan agama), bukan orang fasik dan bukan pula kafir.
b) Berilmu yang dengannya ia mampu berijtihad dalam menyelesaikan berbagai problem yang mungkin terjadi.
c) Sehat pancaindera, penglihatan, pendengaran, lisan, agar dia mampu menjangkau permasalahan yang terjadi.
d) Anggota tubuhnya selamat dari sesuatu yang mencegahnya bergerak bebas dengan cekatan (sehat jasmani).
e) Memiliki pandangan yang baik dalam mengurusi kemaslahatan umat.
f) Keberanian dan ketangguhan untuk melindungi rakyatnya serta berjihad melawan musuh.
g) Harus berasal dari nasab Quraisy2.
(Lihat Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 6. Lihat pula Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi,1/28)
2) Jika yang memiliki sifat-sifat untuk menjadi seorang pemimpin lebih dari satu, maka hendaknya mereka memilih mana yang lebih memberikan maslahat bagi umat dan lebih layak. Yang terbaik adalah yang memiliki dua sifat ini: amanah dan kekuatan. (lihat As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, hal. 19-54)
3) Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin harus didukung oleh kekuatan yang dapat mengatur masyarakat, seperti kekuatan militer dan yang semisalnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
Ini pulalah makna ucapan Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu:
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا مِنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُتَابَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي تَابَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
“Barangsiapa membai’at seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbai’at dan yang dibai’at).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Dari sini jelaslah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian jamaah dan kelompok yang menetapkan bai’at kepada para pengikutnya adalah bai’at yang batil dan tidak sah. Wajib bagi yang telah melakukannya untuk segera meninggalkannya.
4) Bukan syarat sahnya bai’at adalah kesepakatan seluruh dari kalangan ahlul halli wal ‘aqdi, namun jika telah dibai’at oleh sebagian ahlul halli wal ‘aqdi dan mendapat dukungan kekuatan dari ahli syaukah (yang memiliki kekuatan, seperti kekuatan militer, pen.), maka dia menjadi seorang pemimpin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Seorang penguasa tidak menjadi penguasa dengan persetujuan satu, dua, atau empat orang, kecuali jika kesepakatan mereka didukung kesepakatan yang lainnya sehingga dia menjadi penguasa. Demikian pula setiap perkara yang membutuhkan dukungan yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan kesepakatan orang yang siap untuk bekerja sama. Oleh karenanya, Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at dan mendapat dukungan kekuatan sehingga beliau menjadi imam.” (Minhajus Sunnah, 1/527)
Beliau juga berkata, “Ali rahiyallahu ‘anhu dibai’at oleh ahli syaukah (yang memiliki kekuatan), meskipun mereka tidak sepakat atasnya seperti kesepakatan mereka terhadap (khalifah) sebelumnya. Namun tidak diragukan bahwa beliau mempunyai kekuasaan dan kekuatan dengan bai’at ahli syaukah terhadapnya. Nash telah menunjukkan bahwa kekhilafahan beliau merupakan khilafah nubuwwah.” (Minhajus Sunnah, 4/388)

Ketiga: at-taghallub (kudeta)
Yang dimaksud taghallub adalah ketika sekelompok orang yang memiliki kekuatan melakukan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya. -Meskipun cara ini haram dilakukan terhadap pemimpin sebelumnya-, namun bila mereka berhasil merebut serta menguasai kursi kekuasaan dan mengatur rakyat, maka dia menjadi seorang pemimpin yang sah dan wajib ditaati, meskipun tidak memenuhi persyaratan imamah. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata:
أَمَّا لَوْ تَغَلَّبَ عَبْدٌ حَقِيْقَةً بِالْقُوَّةِ فَإِنَّ طَاعَتَهُ تَجِبُ إِخْمَادًا لِلْفِتْنَةِ وَصَوْنًا لِلدِّمَاءِ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِمَعْصِيَةٍ
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat.” (Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi, 1/27)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata menukil dari Ibnu Baththal rahimahullahu:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat.” (Fathul Bari, 13/7)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu mengatakan:
الْأَئِمَّةُ مُجِْمِعُونَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ عَلَى أَنَّ مَنْ تَغَلَّبَ عَلَى بَلَدٍ أَوْ بُلْدَانٍ؛ لَـُه حُكْمُ الْإِمَامِ فِي جَمِيعِ الْأَشْيَاءِ
“Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 7/239)

1 Namun pendapat yang benar perihal bagaimana proses Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu menjadi khalifah adalah pendapat yang akan disebutkan.
2 Hal ini dalam kondisi ahlul halli wal ‘aqdi memilih dan jika orang Quraisy tersebut memenuhi syarat-syarat yang lain. Disamping tentunya memilih jenis laki-laki, karena perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara.

Hukum Membatalkan Bai’at

Bai’at merupakan ikatan janji, dan seorang muslim diperintahkan untuk menyempurnakan ikatan janji tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Al-Maidah: 1)
Juga firman-Nya:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 34)
Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepas ketaatannya maka dia bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851, dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Sabdanya pula:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar. Karena tidaklah seseorang keluar sejengkal dari ketaatan kepada penguasa lalu dia mati, kecuali dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 6645, Muslim no. 1849, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Namun perlu dipahami bahwa bukanlah mati jahiliah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan kafir. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu: “Yang dimaksud mati jahiliah yaitu seperti matinya kaum jahiliah di atas kesesatan dan tidak mempunyai pemimpin yang ditaati. Sebab, dahulu mereka tidak mengenal kepemimpinan tersebut. Bukan yang dimaksud bahwa dia mati dalam keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 13/7)
As-Suyuthi rahimahullahu juga mengatakan, “Makna ‘dia mati seperti mati jahiliah’ yaitu keadaan matinya sebagaimana matinya kaum jahiliah dahulu, dalam kesesatan dan perpecahan.” (Syarah Sunan An-Nasa’i, As-Suyuthi, 7/123)

Siapakah yang Wajib Dibai’at

Dalil-dalil yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya menunjukkan bahwa bai’at tersebut tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amri, penguasa sebuah negeri. Baik ia disebut khalifah, presiden, raja, atau yang lainnya. Alasan yang menunjukkan bahwa yang wajib dibai’at adalah seorang penguasa negeri/pemerintah, di antaranya:
1. Konsekuensi dari bai’at seseorang adalah kewajiban mendengar dan taat kepada orang yang dibai’at. Ini merupakan kekhususan penguasa negeri, yang memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, bukan pendiri satu jamaah atau organisasi tertentu, yang tidak memiliki wilayah kekuasaan yang nampak (jelas). Cobalah perhatikan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mendengar dan taat. Contohnya hadits Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
“Kami membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat……”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُوْصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan taat meskipun (kepada) seorang budak Habasyah.” (HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat Al-Baihaqi (10/114) dengan lafadz:
وَإْن تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
“Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak.”
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa meskipun dipukul punggungmu dan dirampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847, dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu)
Perhatikan, seluruh riwayat ini dan masih banyak lagi yang lainnya, semuanya menunjukkan bahwa perintah untuk mendengar dan taat adalah untuk penguasa negeri, bukan pemimpin satu jamaah atau organisasi tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan:
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ، الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ، لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ وَلَا قُدْرَةٌ عَلَى شَيْءٍ أَصْلاً
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin yang diketahui wujudnya, yang mempunyai kekuasaan yang dengannya mereka mampu mengatur tatanan masyarakat, bukan taat kepada pemimpin yang tidak ada wujudnya dan majhul (tidak dikenal), bukan pula orang yang tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.” (Minhajus Sunnah, 1/115)
Beliau rahimahullahu juga berkata, “Tidak diperbolehkan bagi seseorang mengambil perjanjian untuk menyetujui semua apa yang dia inginkan, loyal kepada orang yang bersikap loyal kepadanya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Bahkan siapa yang melakukan ini maka dia menyerupai Jenghis Khan dan orang yang semisalnya, yang menjadikan setiap orang yang setuju dengannya sebagai teman yang bersikap loyal dan menjadikan orang yang menyelisihinya sebagai musuh yang menentang.” (Majmu’ Fatawa, 28/16)
2. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak satu pun yang dibai’at kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin kaum muslimin, atau perwakilannya di saat beliau mengutus pasukan ke wilayah tertentu. Tidak diketahui bai’at diberikan kepada Abu Bakr, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib g, kecuali setelah mereka diangkat sebagai khalifah kaum muslimin.
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas menyebutkan bahwa jika ada dua bai’at yang ditetapkan, maka salah satunya diperintahkan untuk dibunuh karena telah memecah-belah persatuan kaum muslimin di atas satu pemimpin dan penguasa. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah salah satu dari keduanya.” (HR. Muslim no. 1853 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak boleh mengikat bai’at untuk dua khalifah.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/242)
Demikian pula sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
“Sempurnakan/penuhi bai’at yang pertama kemudian yang berikutnya.” (HR. Al-Bukhari no. 3268, Muslim no. 1842, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
An-Nawawi rahimahullahu, ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Makna hadits ini adalah jika seorang khalifah dibai’at setelah adanya khalifah yang pertama, maka bai’at yang pertama sah, wajib untuk dilaksanakan. Sedangkan bai’at yang kedua batil dan haram untuk disempurnakan, serta diharamkan pula mengupayakannya.” (Syarah Muslim, An-Nawawi, 12/231)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Barangsiapa membai’at seorang imam lalu dia telah memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika ada yang lain dibai’at, maka penggallah leher yang lain itu.” (HR. Muslim no. 1844, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, ketika menjawab pertanyaan tentang bai’at yang dilakukan jamaah-jamaah, mengatakan, “Bai’at tidak sah kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at (lain) yang bermacam-macam adalah bid’ah, dan ini termasuk sebab perselisihan. Yang wajib bagi kaum muslimin yang tinggal di satu negeri dan satu kekuasaan agar bai’at mereka hanya satu, untuk satu pemimpin. Tidak dibolehkan melakukan bai’at yang beraneka macam.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/367)
Berkata pula Asy-Syaikh Muhammad Taqiyyuddin Al-Hilali rahimahullahu: “Tidak disyariatkan bai’at di dalam Islam kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah kaum muslimin.” (Al-Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama'ah At-Tabligh, karya Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijari, hal. 138)

Bai’at dalam Timbangan As-Sunnah

Definisi bai’at
Bai’at secara bahasa berasal dari kata بَايَعَ-مُبَايَعَةٌ yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya’ah karena diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya menjual hartanya kepada yang lain. (Lihat Lisanul ‘Arab 8/26, ‘Umdatul Qari 1/154, Tajul ‘Arus 20/370)
Adapun secara istilah, diterangkan oleh Badruddin Al-’Aini rahimahullahu:
عَقْدُ الْإِمَامِ الْعَهْدَ بِمَا يَأْمُرُ النَّاسَ بِهِ
“Seorang imam mengikat perjanjian (untuk taat) terhadap apa yang dia perintahkan kepada manusia.” (‘Umdatul Qari, 1/154)
Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai’at adalah perjanjian untuk taat. Di mana orang yang berbai’at telah berjanji kepada amir (pemimpin)nya untuk menyerahkan pandangannya dalam menentukan urusan dirinya dan kaum muslimin, tidak menyelisihinya dalam hal tersebut, serta menaati apa yang dibebankan kepada dirinya berupa perintah baik di saat semangat maupun terpaksa.” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 209)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa inti dari bai’at tersebut adalah kewajiban orang yang telah berbai’at kepada orang yang dia telah berbai’at kepadanya untuk menjalankan serta taat terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan perintahnya.

Hukum bai’at
Bai’at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebab bai’at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya. Di antara nash yang menunjukkan disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath:18)

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Mumtahanah:12)
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ في اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Kami telah membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) baik di saat susah maupun mudah, semangat atau terpaksa, dan di saat mereka merampas hak-hak kami, dan kami tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya, dan agar mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela.” (HR. Muslim no. 1709)
Demikian pula ucapan Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Aku membai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Bahkan dalil-dalil menunjukkan bahwa setiap muslim wajib berbai’at kepada pemimpin dan penguasa negerinya, serta diharamkan menyelisihinya dan keluar dari ketaatan kepadanya dalam perkara-perkara yang bukan merupakan bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu dia mati, maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1848)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian dan memecah jama’ah kalian maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim no. 1852)
Masih banyak lagi dalil-dalil yang semakna dengannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat kepada imam (penguasa) yang telah disepakati untuk dibai’at, serta diharamkan melakukan pemberontakan terhadapnya, meskipun dia (penguasa tersebut) berbuat zalim dalam menetapkan hukum. Dan bai’at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya.” (Fathul Bari, 1/72)

Bercermin dari Bai’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Telah menjadi tabiat, dalam dakwah ditaburi beragam aral merintang. Jalan yang ditempuh dipenuhi onak duri. Curam, tajam, mendaki, dan banyak ranah terjal yang mesti dilalui. Tantangan demi tantangan akan senantiasa menghadang. Sulit tiada terperi. Duka nan lara pun akan datang silih berganti. Susul-menyusul bagai gelombang ombak yang tiada pernah berhenti. Potret tabiat dakwah ini secara nyata bisa dicermati dari perjalanan dakwah para nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an telah banyak menggambarkan hal itu. Beragam tindak sarkasme seperti cemooh, menjuluki dengan sesuatu yang tiada patut, pelecehan, hardikan, dan kata-kata kasar lainnya kerap menghambur dari lisan orang-orang yang menyimpan hasad serta permusuhan terhadap dakwah dan pelaku dakwah. Tak hanya itu, boikot bahkan ancaman bunuh pun bisa mewarnai perjalanan dakwah. Cermati firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30)
Hanya orang-orang yang dikaruniai kesabaran yang kelak bertahan tegar menghadapi ujian. Kokoh dalam kancah dakwah. Cobaan yang menimpanya dihadapi dengan sabar seraya menanti saat tibanya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an memberi gambaran betapa dahsyat ujian yang menimpa orang-orang terdahulu. Firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Al-Baqarah: 214)

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 2-3)

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar?” (Ali Imran: 142)
Para sahabat g pernah berkeluh kesah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait ujian yang menimpa saat memperjuangkan Islam. Hadits dari Khabbab bin Al-Art rahiyallahu ‘anhu bertutur tentang hal itu. Khabbab rahiyallahu ‘anhu berkata:
Kami berkeluh kesah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tengah berbantal kain burdah dalam naungan Ka’bah. Kami berkata: “Tidakkah engkau memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau mendoakan kami?” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh telah terjadi pada orang-orang sebelum kalian, seorang lelaki diambil lantas ditanam dalam tanah. Dalam keadaan seperti itu, kemudian didatangkan gergaji yang diletakkan di atas kepalanya. Maka (akibat digergaji) jadilah kepalanya terbelah dua. Lantas tubuhnya disisir dengan sisir yang terbuat dari besi hingga mengelupas daging dari tulangnya. Namun demikian, tidaklah hal itu menjadikan dia terhalang dari agamanya (dia tetap kokoh dalam agamanya). Sungguh Allah akan menyempurnakan agama ini hingga orang yang berkendaraan tidak merasa takut, kecuali hanya kepada Allah, saat melintas dari Shan’a ke Hadramaut. Begitu pula tanpa takut serigala akan memakan kambingnya. Akan tetapi kalian bersikap tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari no. 6943)
Dalam menjelaskan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengungkapkan, (hadits) ini merupakan isyarat perihal wajibnya bersabar kala menghadapi cobaan dalam menunaikan agama. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 9/356)
Sesungguhnya sikap sabar kepada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menghadapi cobaan merupakan salah satu sebab (seseorang) masuk surga. Karena sesungguhnya makna ayat (dari surat Al-Baqarah: 214) yaitu bersabarlah kalian hingga kalian masuk surga. (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 3/42)
Dalam kehidupan dakwah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun banyak mengalami gangguan dan tantangan. Tengoklah bagaimana ujian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat bertandang ke Thaif. Berupaya menyampaikan Islam dengan penuh kasih sayang dan rahmah. Namun, apa yang beliau terima sebagai balasan? Tiada lain sikap sarkasme penduduk Thaif. Beliau menetap di Thaif selama sepuluh hari. Tak tertinggal satu orang pun dari tokoh-tokoh mereka untuk didatangi dan diajak kepada Islam. Akan tetapi, mereka tak mau menerima dakwah beliau, bahkan mengusir dan memprovokasi orang-orang jelata yang bodoh untuk melempari batu serta mencaci-maki beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Darah pun mengalir dari tubuh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Hingga kedua sandal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terwarnai darah yang keluar dari tubuh. Begitu pun yang dialami Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu yang turut mendampingi beliau berdakwah ke Thaif. Sahabat mulia satu ini melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tubuhnya. Maka kepalanya pun terluka. Caci-maki dan lemparan batu terus ditimpukkan ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Haritsah rahiyallahu ‘anhu oleh orang-orang bodoh Thaif, hingga beliau sampai di pinggiran kebun anggur milik ‘Utbah dan Syaibah, yang merupakan putra Rabi’ah.
Apa yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak cuma itu. Persekongkolan kaum musyrikin untuk membinasakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa diupayakan sekeras-kerasnya. Bahkan mereka melakukan satu tindakan untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah ujian dalam dakwah. Ujian yang selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang merindukan surga dengan segala kenikmatan di dalamnya. Dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka itu dihijab (dipagari/dikelilingi) dengan syahwat, sedangkan surga dihijab dengan hal-hal yang tidak menyenangkan (dibenci).” (HR. Al-Bukhari no. 6487)
Yang dimaksud bil makarih (yang tidak menyenangkan) dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang diperintahkan terhadap orang-orang yang telah terkena kewajiban menunaikan syariat agar dirinya bersungguh-sungguh dalam mengerjakan (kebaikan) dan meninggalkan (hal yang dilarang). Seperti, bersegera menunaikan berbagai peribadatan dan menjaganya, serta menjauhi segala macam larangan baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Dikatakan al-makarih (tidak disenangi) lantaran tingkat kesulitan dalam menggapai surga, sehingga memerlukan kesabaran terhadap berbagai musibah yang menimpa dan sikap pasrah diri (patuh) dalam menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan yang dimaksud kata bisy-syahawat yaitu segala sesuatu yang bisa mengundang kenikmatan pada perkara-perkara dunia padahal itu dilarang oleh syariat. Terkait syahwat ini juga, yaitu segala sesuatu yang dikhawatirkan mengantarkan seseorang terjatuh pada yang haram. (Fathul Bari, 11/360)
Adapun menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud kata hujibat pada hadits tersebut yaitu memagari (mengelilingi). Neraka adalah tempat syahwat, yang orang-orang tak akan merasa tenang kecuali dengan mengikuti syahwat mereka, seperti syahwat zina, homoseksual, minum khamr, mencuri, sombong, dan segala bentuk kerusakan tersebut adalah syahwat. Yang semua ini melingkupi neraka. Karena hal-hal ini pula banyak manusia yang bermewah-mewah terjatuh ke dalam neraka. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ. فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ. وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ. لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ. إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ

“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah.” (Al-Waqi’ah: 41-45)

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Isra’: 16)
Adapun surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disenangi, karena sesungguhnya beramal kebaikan itu adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa yang dikendalikan kejelekan. Maka terjadilah pada kalangan manusia, tatkala beramal kebaikan jiwanya tidak menyukai atau benci mengerjakan kebaikan tersebut. Padahal beramal kebaikan itu akan mengantarkan dirinya ke surga. (Syarhu Shahih Al-Bukhari, 8/382)
Maka, sudah menjadi kemestian bahwa sikap sabar dalam menyebarkan nilai-nilai kebajikan harus tertancap kukuh di dada setiap pejuang dakwah.
Pada musim haji tahun ke-11 dari kenabian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan penduduk Yatsrib (Madinah). Mereka menyatakan memeluk Islam dan berjanji untuk menyampaikan risalah Islam kepada kaumnya. Kemudian pada musim haji berikutnya, yaitu tahun ke-12 dari kenabian, 12 orang penduduk Madinah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terdiri dari lima orang yang pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji sebelumnya, selain Jabir bin Abdillah bin Ri’ab yang pada tahun itu tidak bisa hadir. Adapun tujuh orang lagi yaitu Mu’adz bin Al-Harits (Ibnu ‘Afra dari Bani Najjar, Khazraj), Dzakwan bin Abdil Qais (Bani Zuraiq, Khazraj), Ubadah bin Ash-Shamit (Bani Ghanmin, Khazraj), Yazid bin Tsa’labah (Khazraj), Al-’Abbas bin Ubadah bin Nadhlah (Bani Salim, Khazraj), Abul Haitsam bin At-Tayyahan (Bani Abdil Asyhal, Aus), dan ‘Uwaim bin Sa’adah (Bani ‘Amr bin ‘Auf, Aus). Hanya dua orang dari suku Aus sedangkan sisanya dari kalangan suku Khazraj. Mereka semua datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di satu tempat bernama ‘Aqabah, yang masih termasuk wilayah Mina. Mereka diajak untuk berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Kemarilah, berbai’atlah kepadaku,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun lantas berbai’at bahwasanya tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak, tidak akan mendatangkan (kesaksian) dusta yang diada-adakan antara tangan-tangan dan kaki-kaki mereka (seperti menuduh zina), tidak akan bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang baik. Barangsiapa yang memenuhi bai’at tersebut maka balasannya atas tanggungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa melanggar bai’at tersebut maka sanksinya bakal diperoleh di dunia, dan itu berarti kaffarah (penghapus) bagi dosanya. Tapi bila yang melanggar lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya, maka terserah kepada Allah l kelak di akhirat. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki disiksa, maka dia akan disiksa. Jika Allah l menghendaki dengan ampunan-Nya, maka dia akan mendapatkan maaf (ampunan). Demikian peristiwa bai’at pertama dalam lintasan sejarah Islam. Bai’at yang syar’i. Dalam catatan sejarah, bai’at ini dikenal dengan Bai’at Aqabah Pertama.
Setahun kemudian, yakni pada musim haji pula, 73 orang Madinah yang telah muslim datang ke Makkah sebagai orang-orang yang hendak berhaji, ditambah dua orang wanita, yaitu Nusaibah bintu Ka’b dan Asma’ bintu ‘Amr. Mereka pun bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berbai’at kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, kami berbai’at kepadamu,” kata mereka. “Untuk apa saja kami berbai’at kepadamu?” lanjut mereka. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut rincian bai’at. Yaitu untuk: “Mendengar dan taat baik dalam keadaan bersemangat ataupun malas, berinfak kala sulit ataupun mudah, menunaikan amar ma’ruf nahi munkar, beristiqamah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tak akan mudah terpengaruh meski orang-orang mencela, menolongku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apabila aku datang kepada kalian, serta akan melindungiku seperti mereka melindungi istri dan anak kalian. Maka, (jika semua itu ditunaikan) bagi kalian surga.” Inilah bai’at Aqabah yang kedua, atau dikenal pula sebagai bai’at Aqabah Al-Kubra. (Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 165-172)
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikenal pula Bai’at Ar-Ridhwan. Sebuah bai’at nan agung. Kisah ini berawal dari keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melangsungkan umrah. Pada tahun Hudaibiyah tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berkunjung ke Baitullah dan bukan bertujuan untuk berperang. Namun apa yang dicita-citakan ternyata mengalami hambatan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Dzul Hulaifah, beliau dan rombongan yang berjumlah 1.400 orang menambatkan hewan-hewan yang dibawanya, lantas berihram untuk umrah. Beliau terus berjalan hingga tiba di daerah Usfan. Saat itulah, ada yang memberitahu bahwa orang-orang Quraisy yang musyrik telah melakukan mobilisasi massa dan bersiap untuk bertempur. Pasukan kaum musyrikin Quraisy itu sendiri saat itu telah berada di daerah Dzu Thuwa. Mereka benar-benar menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya untuk masuk ke Baitul Haram. Maka, terjadilah negosiasi antara kedua belah pihak. Pada awalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengutus Umar bin Al-Khaththab rahiyallahu ‘anhu ke pihak kaum musyrikin. Namun atas pertimbangan bahwa di Makkah tidak ada orang dari Bani ‘Adi bin Ka’b yang bisa memberi perlindungan kepada Umar, maka rencana mengutus Umar dibatalkan. Umar pun lantas mengusulkan agar yang diutus ke Makkah adalah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu. Maka berangkatlah Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ke Makkah, beliau menemui Aban bin Sa’id bin Al-’Ash. Melalui Aban bin Sa’id bin Al-Ash ini, Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu mendapatkan kekebalan diplomatik. Di Makkah, Utsman rahiyallahu ‘anhu berhasil menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy lainnya lalu menyampaikan apa yang menjadi misinya. Pihak Quraisy lantas menahan Utsman rahiyallahu ‘anhu lantaran mereka ingin bermusyawarah. Namun penahanan Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu ini menimbulkan berita simpang siur. Berita yang tersebar menyatakan bahwa Utsman bin Affan rahiyallahu ‘anhu telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Atas tersiarnya berita ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabat untuk berbai’at. Mereka pun berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melarikan diri dan berjuang hingga tetes darah penghabisan, yaitu hingga mati. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at ini di bawah pohon. Bai’at inilah yang dikenal kemudian sebagai Bai’at Ar-Ridhwan. Berkenaan dengan bai’at ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya:

لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon.” (Al-Fath: 18)

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath: 10)
Dampak dari adanya Bai’at Ar-Ridhwan ini, kaum musyrikin menjadi gentar. Sehingga melahirkan perjanjian Hudaibiyah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/224-229, dan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 351-352)
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat g berbai’at kepada para khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; Abu Bakr, Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib g.
Namun setelah berlalu generasi utama, datanglah generasi yang mengada-ada dalam masalah bai’at ini. Muncul di kalangan Sufi apa yang disebut dengan bai’at thariqah (tarekat). Muncul pula kemudian bai’at-bai’at di kalangan jamaah Islamiyah. Masing-masing kelompok atau jamaah memberlakukan bahkan mewajibkan melakukan bai’at kepada imam atau amir kelompok atau jamaahnya. Hadits-hadits terkait masalah keamiran atau keimamahan pun dipelintir habis guna kepentingan sang amir/imam atau guna kepentingan kelompok/jamaahnya. Misal, hadits dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim (no. 1484):
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan berpisah (menyempal) dari jamaah, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.”
Hadits lain, misal hadits dari Ibnu Umar rahiyallahu ‘anhuma:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah padanya. Barangsiapa mati dan di lehernya tidak terikat bai’at, dia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)
Merebaklah bai’at-bai’at hizbiyyah (kekelompokan). Masing-masing jamaah mengangkat imam atau amir, lalu mereka pun memberlakukan bai’at pada kelompoknya. Muncullah kebingungan pada sebagian pemuda muslim saat melihat begitu banyak jamaah. Mereka bingung hendak ke mana mereka bergabung. Sungguh, tidak diragukan lagi bahwa dampak buruk dari adanya bai’at-bai’at hizbiyah, atau namanya dikemas dengan nama selain bai’at, seperti ‘ahd (perjanjian) atau ‘aqd (ikatan), justru menimbulkan perpecahan pada tubuh umat Islam, mencerai-beraikan umat menjadi bergolong-golongan, menimbulkan permusuhan dan kebencian satu dengan lainnya.
Terhadap bai’at-bai’at hizbiyah atau bai’at-bai’at thariqah, maka tidak wajib menaati. Bahkan hal yang demikian wajib ditinggalkan. Ini semua lantaran bentuk-bentuk bai’at semacam itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak diperbuat oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Bai’at-bai’at semacam itu justru menjadikan pelakunya terjatuh pada dosa karena dia telah melakukan perbuatan bid’ah, mengada-ada satu bentuk amalan tanpa ada contoh atau perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun terkait perintah untuk berbai’at sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits shahih, maka maksud berbai’at tersebut adalah kepada waliyyul amr atau imamatul uzhma (penguasa tertinggi). Bukan amir atau imam kelompok atau jamaah. Sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi t, saat menjelaskan kesesatan model bai’at yang diterapkan pada kelompok Ikhwanul Muslimin, bahwa sesungguhnya bai’at itu merupakan hak bagi imamatul a’la (penguasa tertinggi). Barangsiapa yang mengambil bai’at selain imamatul a’la, sungguh dia telah melakukan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Dia melakukan bid’ah yang jelek.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika dibai’at dua khalifah, maka bunuhlah oleh kalian yang lain (yang terakhir dibai’at) dari keduanya (yang mengeksekusi adalah pemerintah yang sah, red.).” (HR. Muslim no. 1853, dari Abu Sa’id Al-Khudri rahiyallahu ‘anhu) [Al-Mauridu Al-’Adzbu Az-Zalal, hal. 214]
Lantaran bai’at-bai’at thariqah atau bai’at-bai’at hizbiyah tidak ada asalnya dalam syariat, maka ikatan janjinya tidak mengikat, tidaklah berdosa untuk menggugurkan dan melepaskan bai’at semacam itu.
Wallahu a’lam.