Keikhlasan kolektif? Kedengarannya mungkin aneh. Kita terbiasa memaknai keikhlasan sebagai sesuatu yang sangat pribadi, bahwa keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Sang Pencipta. Tetapi jika merenungi banyak ayat dalam Al-Qur’an ternyata keikhlasan tidak hanya dituntut secara individual, tetapi juga diperintahkan untuk terealisasi secara kolektif.
Ayat 5 surat Al-Bayyinah tidak asing bagi kita, Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya secara lurus .” (Al-Bayyinah: 4)
Kata “umiru” dan kata “mukhlishin” pada ayat di atas menggunakan bentuk jama’, sehingga secara zhahir ayat tersebut memerintahkan terealisasikannya keikhlasan secara kolektif.
Al-Qur’an menghendaki keikhlasan terlaksana dalam komunitas orang-orang beriman, sebagaimana dalam surat al-Fatihah setiap muslim selalu mengatakan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (hanya kepada-Mu kamimenyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), bukan “iyyaka a’budu wa iyyaka asta’in” (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan).
Lebih jauh lagi bahkan tidak teralisasinya keikhlasan kolektif dalam suatu komunitas mengakibatkan bencana dan kekalahan bagi seluruh personal komunitas tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ketika mengomentari kekalahan umat Islam di perang Uhud:
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka (orang-orang musyrik Quraisy) dengan izin-Nya, sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (yaitu terhamparnya ghanimah). Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 152)
Ayat tersebut mengungkapkan bahwa ketika keikhlasan sebagian kaum mukminin tercoreng dan motivasi sudah bercampur, kekalahan dan kegagalan perjuangan adalah suatu keniscayaan.
Sampai di sini ada dua pertanyaan menghadang:
Pertama, apakah keikhlasan kolektif berarti bahwa dalam komunitas orang beriman tidak boleh ada yang bersalah dan berdosa sampai-sampai niat melenceng saja dapat mengakibatkan kekalahan bersama?
Kedua, apakah hal itu berarti kita harus mengetahui dan menyingkap niat orang lain di sekitar kita padahal masalah keikhlasan adalah rahasia hati yang tidak bisa diketahui kecuali oleh yang bersangkutan dan Allah SWT?
Mengenai pertanyaan pertama, kesalahan dan dosa selain memiliki efek terhadap individu yang melakukan, juga berefek pada masyarakat sekitar. Tetapi efek tersebut hanya berpengaruh dalam kondisi-kondisi berikut:
1. Yang bersangkutan tidak bertaubat. Jika seseorang bertaubat maka kesalahan dan dosa diampuni. (Ali Imran: 153)
2. Yang bersangkutan melakukan dosa dan kesalahan secara terang-terangan. Jika dilakukan secara tersembunyi maka dosa hanya akan berefek pada pribadi yang melakukan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Seluruh umatku terselamatkan kecuali orang-orang yang berbuat (dosa) terang-terangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Niat buruk telah menjelma menjadi perkataan, konsep, atau perbuatan. Niat yang melenceng jika terlintas dalam hati saja, tetapi tidak diterjemahkan dalam perkataan atau perbuatan, tidak berbahaya sama sekali. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ. متفق عليه
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari hal-hal yang mereka katakan dalam hati mereka selama tidak mereka amalkan atau ucapkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
4. Tidak ada yang mengingatkan dan mengingkari kesalahan dan dosa yang diperbuat secara terang-terangan. Jika ada yang mengingkari dan melarang perbuatan dosa, maka orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut selamat dari akibat perbuatan dosa tersebut. (Al-A’raf: 165)
Masyarakat yang diinginkan Al-Qur’an bukanlah masyarakat malaikat yang tidak pernah berbuat salah atau berniat melenceng. Kesalahan dan penyelewengan masih bisa ditolerir jika tidak mendominasi dan menjadi fenomena umum. Karena itu amar ma’ruf nahi munkar, tawashi bil haq dan tawashi bish shobr, menjadi pilar keberlangsungan komunitas orang-orang beriman. Dalam masyarakat Nabi SAW dan para sahabat terdapat orang-orang yang berdosa dan bahkan orang munafiq bahkan orang yahudi. Tetapi dominasi ada pada suara keimanan dan ajaran Islam.
Mengenai pertanyaan kedua, membongkar hati orang lain bukanlah hal yang mungkin dilakukan bahkan tidak boleh dilakukan. Yang harus dilakukan hanyalah memberi peringatan dan membangkitkan motivasi. Bahkan itulah sesungguhnya tugas Nabi SAW dan para pengikutnya. Allah berfirman:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ . لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (Al-Ghasyiyah: 21-22)
Keberhasilan seorang juru dakwah bukanlah dikarenakan dia dapat memaksakan kehendaknya atau pikirannya kepada para pengikutnya, tetapi keberhasilan sejatinya adalah ketika dia dapat memotivasi para pengikut dengan motivasi yang lurus dan membuat para pengikut bergerak dengan keikhlasan menjalankan perintah Allah. Seringkali kepentingan duniawi menggoda para pejuang di jalan Allah, di sinilah tantangan keteguhan motivasi dan kekuatan ikhlas diuji.
Di sisi lain, meskipun keikhlasan merupakan rahasia hati, tetapi keikhlasan tercermin dalam ucapan dan perbuatan. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sikap nifaq meskipun disembunyikan dalam hati, tetap akan tampak dalam sela-sela ucapan dan indikasi perbuatan. Allah berfirman:
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ
“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu”. (Muhammad: 29-30)
Tanda-tanda ketidakikhlasan dapat ditangkap dari perkataan dan perbuatan. Meskipun kita juga diajarkan untuk tidak berprasangka buruk (su’uzh-zhan) (Al-Hujurat: 12), tetapi seorang mukmin haruslah cerdas dan bijaksana, dia waspada dan peka terhadap gejala ketidakikhlasan tanpa harus berprasangkapa buruk. Bagaimana caranya? Ada beberapa langkah yang diajarkan Al-Qur’an kepada kita tentang hal ini.
Pertama, biasakan kita untuk selalu dekat dengan majelis dzikir wal ikhlas dan orang-orang yang rajin berdzikir dan ikhlas. Apa dan siapa mereka itu? Mari dengarkan firman Allah ini:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu (wahai Muhammad) bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Redaksi perintah seperti ini Allah tujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Begitu pentingnya sehingga secara khusus Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan hal tersebut.
Sayyid Qutb berkata tentang makna ayat ini, “Sabarkan dirimu, yaitu jangan bosan dan tergesa-gesa, bersama “orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya” karena Allah-lah tujuan mereka. Mereka menghadap Allah pagi dan senja, tidak menyimpang dari-Nya, tidak mengharapkan selain ridha-Nya. Yang mereka idamkan lebih agung dan lebih luhur dari semua yang diidamkan para pencari dunia. Sabarkan dirimu bersama mereka itu. Bersahabatlah dengan mereka, ikutlah dalam majelis mereka dan ajarkan mereka (wahai Muhammad). Pada merekalah terdapat kebaikan. Dan atas pundak merekalah gerakan dakwah dapat berdiri. Karena dakwah tidak berdiri di tangan orang-orang yang menganutnya demi merealisir ambisi-ambisi, demi memperdagangkannya di pasar dakwah sehingga dibeli atau dijual! Dakwah hanyalah berdiri pada hati-hati yang menghadap kepada Allah dengan ikhlas, tidak menginginkan kedudukan, kenikmatan, ataupun kepentingan. Tetapi hanya mengharapkan wajah-Nya dan menginginkan ridha-Nya.
Ayat ini begitu unik. Keunikan tersebut perlu kita perhatikan. Biasanya orang-orang mukminlah yang diperintahkan untuk bersama dengan Nabi Muhammad SAW. Tetapi pada ayat ini Nabi Muhammadlah yang diperintahkan untuk bersabar bersama orang-orang mukmin tersebut. Mengapa?
Untuk lebih memahami hal tersebut, coba kita lihat bersama latar belakang diturunkannya ayat ini:
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Saad bin Abi Waqqash berkata, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW enam orang. Datanglah orang-orang musyrik dan mereka berkata: “Usirlah mereka itu, jangan sampai mereka berani duduk dengan kami.” Ketika itu saya bersama Ibnu Mas’ud, seorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang saya lupa namanya. Lalu turunlah ayat tersebut.”
Ibnu Katsir menfsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih dan bertakbir setiap pagi dan petang, baik mereka itu miskin ataupu kaya, kuat ataupun lemah.” Ayat tersebut memerintahkan Nabi Muhammad untuk tidak terpengaruh dengan orang pembesar-pembesar Quraisy yang enggan duduk bersama orang-orang mukmin yang mayoritas tergolong miskin yang lemah demi mengambil hati golongan elit tersebut.
Keikhlasan dapat dengan mudah ditemukan pada komunitas orang-orang yang sederhana dan tawadhu, yang selalu berkumpul dalam suasana dzikir, mengingat Allah. Sebagaimana manusia dituntut untuk memilih pemimpin, pemimpin juga harus selektif dalam memilih orang-orang dekatnya dan orang-orang kepercayaannya. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menjadikan orang-orang dekatnya adalah orang-orang yang rajin berdzikir siang malam, pagi dan petang, orang-orang yang biasa beramal hanya demi akhirat, orang-orang yang kesibukan utamanya adalah mencari ridha Allah.
Mereka yang hidupnya senantiasa dalam suasana mengingat Allah dan akhirat, akan memiliki sensitifitas tinggi terhadap gejala-gejala penyimpangan. Sebaliknya, mereka yang terlalu banyak bergaul dengan para pembela kepentingan dunia, hati mereka akan terkontaminasi dengan polusi-polusi niat yang tidak lurus. Lebih parah lagi jika para pencari dunia tersebut adalah orang-orang yang pandai dan terbiasa membuat pembenaran-pembenaran terhadap segala perbuatannya.
Kedua, membiasakan diri kita untuk secara ketat mengawasi niat kita sendiri, sebelum melihat dan menilai orang lain. Allah memerintahkan kita untuk membersihkan hati kita, tetapi Allah melarang kita untuk merasa dan menganggap diri sebagai orang bersih. Allah berfirman:
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm: 32)
Adalah sifat orang mukmin sejati, mereka selalu khawatir diri mereka terjangkiti penyakit nifaq (kemunafikan) tanpa mereka sadar. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya bergaul dengan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi SAW, mereka semua takut dirinya terjangkiti penyakit nifaq, dan tak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa iman mereka seperti imannya Jibril dan Mikail.”
Bahkan Hasan al-Bashri berkata, “Tidaklah seseorang merasa takut dari penyakit nifaq kecuali dia mukmin, tidaklah seseorang merasa aman dari penyakit nifaq kecuali pasti dia munafik.”
Keikhlasan adalah sebuah perjuangan hati melawan bisikan nafsu dan dorongan setan, bukan sesuatu yang hanya diklaim atau diaku-aku. Hati yang peka dan bersih akan selalu sibuk meluruskan niat, bukan mengakui keikhlasan dan merasa aman. Begitu sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai seorang ulama besar, Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya tidak menemukan amal yang lebih sulit dari pada mengikhlaskan niat.”
Seseorang yang terbiasa mengawasi hatinya akan mendapat dua faidah, pertama dia dapat memelihara kebersihan hati, dan kedua dia mengatahui bagaimana setan dan hawa nafsu mengelabui hati. Dan dengan bekal itu, dia akan mengetahui bagaimana cara meluruskan niat orang lain, tanpa menuduh keikhlasan seseorang.
Ketiga, harus dilakukan penguatan dan pelurusan motivasi secara berkala dan masif. Meskipun bab Ikhlas adalah bab yang aksiomatis dan sudah begitu familiar bagi setiap aktifis, tetapi bukan berarti kita cukup hanya membicarakannya sekali untuk diketahui saja. Karena kebutuhan hati terahadap tadzkir (peringatan/nasehat) sama dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan. Tidak mungkin manusia hanya sekali makan, kemudian berhenti. Begitu pula hati manusia dia harus diisi dengan tadzkiroh secara rutin.
Surat Wal Ashri adalah surat yang tidak asing bagi setiap muslim. Tetapi para sahabat Nabi SAW merasa perlu untuk saling mengingatkan pesan surat ini setiap mereka bertemu. Itu karena mereka sadar bahwa hati dan keimanan akan melemah jika tidak mengkonsumsi taushiyah secara berkala. Dr Yusuf al-Qardhawi sering berkata tentang ayat 3 surat tersebut, “Semua manusia wajib menerima dan memberi taushiyah. Tidak ada orang yang terlalu rendah untuk memberi nasehat. Dan tidak ada orang yang terlalu tinggi untuk menerima nasehat.”
Allah berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous