1. Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi [1] Terdapat sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
2. Kekeliruan dalam penulisan
Mengenai mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat dirubah apapun. [2]
3. Referensi
- Shihab, Quraish Muhammad dkk. Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 19
- Subhi ash-Shalih, Mabâhits fî `Ulûm Al-Qur`an (Beirut:Dâr al`Ilmi li al- Malâyîn, 1977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous