Rabu, 21 Juli 2010

Syariah Menjiwai Kesejatian Koperasi Indonesia (Bagian ke-2)


Logo Gerakan Koperasi Indonesia (wikipedia)

Logo Gerakan Koperasi Indonesia (wikipedia)

Persoalan mendasar dan isu popular yang sering muncul dalam wacana perkoperasian adalah bahwa koperasi merupakan organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association) yang kini cenderung menjadi substantive power sebagai tulang punggung perekonomian di negara-nara maju sekalipun seperti terlihat dalam perkembangan dan pengembangan koperasi di Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia, meskipun pada mulanya dalam pengalaman empiris hanya sebagai countervailing power (kekuatan pengimbang) terhadap kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association) yang sering menjadi sapi perahan bagi pemilik modal (share holders) dengan system dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.

Spirit membership based association tersebut lebih sering teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebajikan’ yang lazim dikenal dalam buku-buku modern sebagai social capital (modal sosial) yang menekankan semangat ekonomi kerakyatan yang telah mulai menggejala dan dikenal di era Hindia Belanda pada abad ke-19 sejak diberlakukannya UU Agraria 1870 sekaligus dihapuskannya sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang mendorong kepemilikan local (local ownership) dan inisiatif-inisiatif oleh rakyat setempat yang mendapatkan porsi signifikan.

Bung Hatta dalam buku ‘Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun’ mengkategorikan sebagai social capital, 7 nilai sebagai spirit koperasi yaitu:

Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan (trust).

Kedua, keadilan dalam usaha bersama.

Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan.

Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas.

Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas.

Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva.

Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan.

Formula nilai yang dikemukakan Hatta ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, Bapak Koperasi Jepang dalam buku ‘Brotherhood Economics’ bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari pengisapan oleh kekuatan-kekuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.

Dalam impelemnetasinya tujuh nilai yang menjiwai kepribadian koperasi versi Hatta, dituangkan dalam tujuh prinsip operasional koperasi secara internal dan eksternal yaitu:

Pertama, keanggotaan sukarela dan terbuka.

Kedua, pengendalian oleh anggota secara demokratis.

Ketiga, partisipasi ekonomis anggota.

Keempat, otonomi dan kebebasan.

Kelima, pendidikan, pelatihan dan informasi.

Keenam, kerjasama antar koperasi.

Ketujuh, kepedulian terhadap komunitas.

Prinsip syariat Islam dalam kegiatan usaha pada dasarnya mempresentasikan tuntutan moral dalam muamalah. Haron dan Shanmugan (1997), sebagaimana juga dikemukakan Siddiqi, merangkum prinsip-prinsip dasar usaha yang sesuai dengan spirit syariah;

Prinsip kegiatan usaha dalam Islam mencakup kejujuran, dan perdagangan yang dilaksanakan dengan keimanan dan menjunjung tinggi amanah. Islam menggambarkan usaha sebagai perpaduan sinergis antara usaha yang jujur dan kerja keras bagi kelangsungan hidupnya. Manipulasi usaha dan mal praktek yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil melalui kegiatan penimbunan, perdagangan di pasar gelap, melipatgandakan keuntungan, menyembunyikan kekurangan pada barang dagangan, dan korupsi tidaklah dapat dianggap sebagai suatu kegiatan usaha yang jujur.

Dalam tataran implementasi institusionalnya, prinsip-prinsip syariah dalam bisnis tersebut akan selaras dengan tujuan ekonomis, bila disertai pemahaman dan komitmen dengan tujuan utama keberadaan lembaga usaha syariah sebagaimana disebutkan Haron dan Shanmugan (1997) mencakup beberapa hal yaitu: Pertama, lembaga usaha Islami dapat membantu masyarakat muslim untuk dapat bertransaksi sesuai norma Islam secara individual maupun sosial. Kedua, lembaga usaha Islam mempermudah masyarakat muslim untuk berperan serta dalam kegiatan mobilisasi dana bagi percepatan pembangunan ekonomi dan kemakmuran sesuai dengan prinsip Islam yang menjamin hak dan kewajiban individu maupun masyarakat terlaksana secara baik. Ketiga, lembaga usaha Islam diharapkan dapat memperkuat ikatan persaudaraan dan kekeluargaan yang berlandaskan kemaslahatan bersama.

Sementara itu, menurut Khan (1983) beberapa prinsip utama syariah yang harus dipegang dalam setiap kegiatan usaha muslim adalah meliputi; larangan menggunakan riba dalam segala bentuknya, menjalankan kegiatan usaha dan perdagangan dengan dasar keadilan dan kehalalan, memenuhi kewajiban membayar zakat, larangan monopoli, kerjasama dan kemitraan usaha yang berorientasi pada kemaslahatan umat.

Dasar operasional ekonomi Islam menurut Ahmed (1986) meliputi tiga hal:

Pertama, manusia bukanlah pemilik absolut sumber daya, mereka hanyalah pemegang amanah dari Allah Swt. Dalam setiap sumber daya dan kekayaan individual terdapat kewajiban social yang harus ditunaikan.

Kedua, terdapat suatu aturan dan petunjuk moral agama dalam mencari kekayaan, karena ekonomi hanyalah salah satu aspek dari kemanusiaan.

Ketiga, perhatian utama dari setiap kegiatan ekonomi adalah pencapaian kesejahteraan seluruh masyarakat meskipun Islam tidak pernah menghalangi kepemilikan individu. Solidaritas sosial dan tanggung jawab moral inilah benang merah yang mempertemukan nilai koperasi dengan nilai syariah.

Senada dengan hal itu, Chapra (2000) menyatakan bahwa perspektif dan paradigma Islam tentang ekonomi ditekankan pada dimensi sosioekonomi dimana tujuan akhir proses bukan hanya tercapainya sisi kesejahteraan ekonomi, akan tetapi juga meliputi persaudaraan dan keadilan social-ekonomi, penghargaan atas kehidupan, kesejahteraan, penghargaan individual, kebebasan dan kepuasan rohani, kebahagiaan keluarga serta harmonisasi kehidupan sosial. Memaksimalkan kekayaan dan konsumsi bukanlah tujuan utama. Menurut Islam, masyarakat hanya bersifat sementara dalam menikmati pertumbuhan ekonomi apabila mengabaikan moral secara individual maupun masyarakat luas mengingat pentingnya filter moral dalam membentuk norma positif dalam masyarakat yang akan mempengaruhi perilaku konsumen.

Model perkoperasian keindonesiaan yang berbasis nilai Islam lahirlah sebuah paguyuban usaha semisal koperasi yang berdasarkan syariah dalam wadah gerakan dagang yang dikenal dengan ‘Syarikat Dagang Islam’ (SDI) oleh H. Samanhudi di Solo Jawa Tengah yang menghimpun anggotanya dari para pedagang muslim yang nota bene mayoritas pedagang batik saat itu. Meskipun pada perkembangan selanjutnya gerakan perkoperasian berbasis nilai syariah berubah menjadi ‘Syarikat Islam’ yang sarat dengan nuansa gerakan politik di samping ekonomi.

Dalam konteks budaya kemitraan yang diusung koperasi, sebuah hasil penelitian sebagaimana dikemukakan oleh Afzalul Rahman dalam Economic Doctrines of Islam, bahwa terdapat beberapa kemiripan tipe kemitraan modern Barat dengan kemitraan Islam dengan dijumpainya banyak sekali bentuk kemitraan (syirkah) yang dipraktekkan oleh umat Islam hingga abad 18. Kedua bentuk kemitraan (Syirkah Islam dan Syirkah Modern) dibentuk oleh para pihak atas kesepakatan mereka sendiri dengan tujuan mencari dan membagi keuntungan secara proporsional dan mutual berdasarkan hokum negara. Menurut Rahman, sesungguhnya ketentuan pokok dan persyaratan kemitraan dalam kedua tipe koperasi tersebut sama, kecuali pada bentuk kemitraan modern yang melibatkan riba (sistem bunga), sedangkan koperasi syariah (syirkah Islam) terbebas sama sekali dari unsur tersebut. Kesamaan antara kemitraan Inggris dan syirkah Islam sangat nyata meliputi: jenis mitra, hak dan kewajibannya, fungsi dan tugasnya terhadap pihak ketiga dalam hal yang berkaitan dengan hutang dan sebagainya seperti tertuang dalam Peraturan Kemitraan Inggris tahun 1980 kurang lebihnya sama dengan yang dijabarkan prinsip syirkah dalam kitab fiqih bermazhab Hanafi ‘Al-Hidayah’.

Kesamaan yang sangat nyata itu cenderung mendorong kalangan peneliti berkesimpulan bahwa formulasi Peraturan Inggris tahun 1980 tersebut mengambil dari Al-Hidayah dan diterjemahkan oleh Charles Hamilton di bawah perlindungan Warren Hasting, Gubernur Jenderal Bengal dan diterbitkan pada tahun 1870, di London dan menyadur empat bagian jenis kemitraan yang relevan yaitu syirkah dan mengajukannya ke Parlemen Inggris dengan sedikit editing di sana sini dari teks aslinya.

Pada akhirnya, yang menjadi persoalan di sini adalah koperasi model manakah yang sesuai bagi perekonomian Indonesia yang berbasis kerakyatan dan keagamaan. Apakah koperasi yang di dasarkan pada nilai-nilai tradisional ‘gotong royong’ kekeluargaan yang cenderung berpola koperasi sosial ataukah koperasi modern model Barat yang cenderung berpola koperasi ekonomi berbasis sistem pasar, ataukah ada formulasi model tengah ‘mix’ yaitu koperasi berbasis nilai gotong royong yang modern dan serasi dengan nilai syariah yang dikenal dengan koperasi syariah? Tampaknya model mix terakhir inilah meskipun tidak berlabel syariah namun komitmen dalam operasionalnya berlandaskan nilai dan prinsip syariah yang lebih mendekati fitrah sunnatullah. Artinya sesuai dengan kebutuhan, potensi, kondisi dan norma agama yang semestinya untuk menghindarkan ekstremitas ekonomi dan kesalahan materialisme sosialis maupun kapitalis.

- bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous