Ada sebagian orang mengeluh bahwa sudah lama mereka melakukan sholat, tetapi masih saja hidupnya sengsara, miskin dan banyak mendapatkan musibah. Sementara ada sebagian orang yang tidak pernah sholat sama sekali, namun hidupnya bergelimang dengan harta, kemewahan dan kesenangan. Lalu mereka mengeluh dengan mengatakan : “Apa gunanya kita sholat kalau nasib kita tidak lebih baik daripada orang-orang yang tidak sholat.”
Demikian sekelumit kejadian yang sering kali kita jumpai dikarenakan kebodohan dalam memahani ajaran agama. Orang-orang tersebut mengira bahwa sholat dan amal sholih yang dikerjakannya adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia, padahal Alloh ta’ala telah berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah : “Sesungguhnya sholatku, ibadah ( sembelihan qurban )ku, hidupku dan matiku hanya untuk Alloh Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan hal itulah aku diperintahkan.” ( Qs. Al-An’am : 162-163 )
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa yang diperintahkan adalah sholat dan beribadah karena Alloh semata, bukan karena mengharap kekayaan atau kesenangan dunia yang menipu. Sehingga bila seseorang mengeluhkan kemiskinannya atau kesulitan hidupnya padahal dia rajin mengerjakan sholat, sesungguhnya orang tersebut mesti melakukan instrospeksi diri, apakah sholatnya sudah benar ? sudah ikhlas ? sehingga layak mendapatkan apa yang dia sangkakan bahwa dirinya berhak mendapatkannya ?
Bila seseorang melakukan sholat lantas terbayang dibenaknya bahwa dengan sholatnya dia layak mendapatkan apa yang ada pada orang-orang kaya yang bergelimang kemewahan duniawi, maka akan muncul ketidakpuasan dalam jiwanya dengan apa yang Alloh berikan untuknya. Pandangan yang demikian karena sifat rakus terhadap duniawi masih kental dalam dirinya. Inilah yang menjadikan sholatnya tidak lagi tulus ikhlas karena Alloh dan hanya untuk Alloh semata. Tanda-tandanya adalah akan muncul protes kepada Alloh bila rejeki yang diharapkan tidak kunjung datang. Setidaknya dia akan mengatakan : “Ya Alloh kenapa Engkau tidak memberikan kepadaku rejeki yang berlimpah padahal aku rajin mengerjakan sholat dan beraneka ragam ibadah lainnya ?!” Dari nada protesnya ini seakan-akan dia hendak menunjukkan kepada Alloh bahwa dia telah banyak beramal, lalu menagih janji kenapa rejeki yang didampakan tidak kunjung diberikan. Padahal Alloh ta’ala tidak pernah berjanji memberi kekayaan duniawi kepada orang-orang yang rajin sholat. Bagaimana mungkin Alloh ditagih untuk apa yang Alloh tidak pernah menjanjikannya ? Andai pun Alloh menjanjikan, maka apakah sudah patut dia untuk menuntutnya sedangkan ibadah yang dia kerjakan tidak ikhlas semata-mata untuk Alloh, tapi malah mendambakan duniawi. Hal yang demikian sebenarnya telah disindir oleh Alloh ta’ala dalam Al-Qur’an :
فَأَمَّا الإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia bila dia diuji dengan kesenangan oleh Tuhannya, lalu Alloh memuliakan dan memberinya kenikmatan, dia akan berkata : “Tuhanku telah memuliakanku. Namun bila Alloh mengujinya dengan dibata si rejekinya, dia akan berkata : “Tuhanku menghinakanku.” ( Qs. Al-Fajr : 15 – 16 )
Itulah gambaran orang-orang yang miskin keimanan. Namun bagi siapa saja yang kadar keimanannya kuat, niscaya dia akan selalu bersyukur ketika mendapatkan karunia yang berlimpah, dan tetap berada di atas kesabaran bila rejekinya sedang sempit. Karena dia mengerti makna firman Alloh ‘azza wa jalla :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan Kami pasti menguji kalian dengan sesuatu dari rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” ( Qs. Al-Baqoroh : 155 )
Dalam ayat yang lain Alloh berfirman :
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif lam mim, apakah manusia akan dibiarkan mengatakan : “Kami telah beriman,” padahal mereka belum diberikan ujian ? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Alloh mengetahui orang-orang yang benar ( imannya ) dan mengetahui orang-orang yang dusta ( imannya ).” ( Qs. Al-’Ankabut : 1 – 3 )
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikan ada bersamanya niscaya Alloh beri musibah ( ujian ) dari sisi-Nya.” ( HR. Al-Bukhori )
Dengan demikian bisa jadi sebuah musibah atau ujian itu adalah kebaikan dari Alloh untuk meningkatkan kadar iman kita kepada Alloh dan meluruskan rasa ikhlas dan syukur kita kepada Alloh ta’ala.
Memang seorang Wali Alloh atau kekasih Alloh akan mendapatkan kecukupan dalam setiap apa yang dia butuhkan sebagaimana firman Alloh ta’ala :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal sholih baik laki-laki maupun perempuan, dan dia dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang bahagia dan Kami akan membalasinya dengan balasan yang lebih baik dari apa pun yang mereka kerjakan.” ( Qs. An-Nahl : 97 )
Kehidupan yang bahagia akan didapatkan di dunia dan di akhirat bila seseorang sunguh-sungguh dalam beriman dan beramal sholih. Suatu amal disebut amalan sholih bila dikerjakan sesuai tuntunan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan ikhlas hanya mengharap Wajah Alloh ta’ala. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang aku wajibkan atasnya. Dan selalu hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah ( sunnah ) hingga Aku mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, niscaya Aku menjadi pendengaran yang dia mendengar dengannya, penglihatan yang dia melihat dengannya, tangan yang dia berbuat dengannya dan kaki yang dia melangkah dengannya. Bila dia meminta kepada-Ku pasti Aku memberinya dan bila dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku melindunginya.” ( HR. Ahmad dan Al-Bukhori )
Tetapi bila ibadah yang dikerjakan adalah mengharap kekayaan duniawi sama halnya dengan kehilangan keikhlasannya. Bila demikian maka inilah penghalang utama dari diperolehnya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous