Selasa, 13 Juli 2010

DI MANAKAH ALLAH ?

Ini adalah sebuah pertanyaan sederhana namun azasi yang banyak orang muslim terpedaya oleh syetan dengan berbagai jawaban yang me-nyesatkan. Jawaban-jawaban yang tanpa didasari ilmu akan menyeret pen jawabnya kepada berbagai pemahaman sesat, seperti ilhad ( pengingkar-an keberadaan Alloh ), tasybih ( penyerupaan Alloh dengan makhluk ), bahkan hingga ke pemahaman terkafir yang melebihi kekafiran Yahudi dan Nashrani, yaitu pemahaman Wihdatul-Wujud ( Pantheisme ).

Pemahaman tentang “di manakah Alloh berada ?” adalah suatu permasalahan ‘aqidah yang penting yang mesti diketahui secara benar oleh setiap kaum muslimin. Sebagaimana permasalahan ini telah diketa-hui oleh para Shahabat y , bahkan oleh budak-budak mereka. Diriwayat-kan dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamy t , yakni ketika dia hen-dak memerdekakan budak perempuannya yang dia tampar [1] , dia berta-nya kepada Rosululloh r : “Wahai Rosululloh, apakah aku mesti memer-dekakannya ?” Maka Rosululloh r menyuruhnya menghadirkan budak-nya, kemudian ditanya : أَيْنَ اللَّهُ ? ( “di manakah Alloh ?” ).

Budak perempuan tersebut menjawab : فِي السَّمَاءِ “di langit.” Yakni di atas langit. Lalu Rosululloh r bertanya lagi : مَنْ أَنَا “Siapakah aku ?”

Budak tersebut menjawab : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ “engkau adalah Rosululloh.”

Setelah Rosululloh r mendengar jawaban-jawaban budak tersebut, be-liau bersabda : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “merdekakan dia, karena dia adalah seorang

wanita yang beriman !” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Nasai )

Dari kejadian tersebut, kita dapat tarik kesimpulan bahwa di antara krite-ria orang yang beriman adalah mengetahui di manakah Alloh berada.

Al-Qur’an sebenarnya telah berulang-ulang menjelaskan di mana-kah Alloh berada. Di antara ayat-ayat yang menjelaskan keberadaan Alloh Y adalah :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Alloh Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”

( Qs. Al-A’rof : 54 dan Qs. Yunus : 3 )

Dalam ayat yang lain disebutkan :

اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Alloh Yang telah mengangkat langit tanpa adanya pasak yang kalian li-hat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” ( Qs. Ar-Ro’du : 2 )

Dalam ayat lainnya disebutkan :

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.” ( Qs. Thoha : 5 )

Dalam ayat yang lain :

الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ

“Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy ada-lah Ar-Rohman ( Yang Maha Penyayang ).” ( Qs. Al-Furqon : 59 )

Dalam ayat yang lain :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Alloh Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa saja yang ada di antaranya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”

( Qs. As-Sajdah : 4 )

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengannya yang mene-gaskan bahwa Alloh bersemayam di atas ‘Arsy, yaitu di atas singgasana-Nya yang ada di atas langit yang ketujuh.

Tentang makna ayat-ayat tersebut, berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang terkenal Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim : “Adapun firman Alloh ta’ala :{ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } , manusia memiliki sangat banyak panda-pat dalam hal ini, dan di sini bukan tempat untuk menguraikannya secara panjang lebar. Sesungguhnya jalan yang mesti dilalui di sini hanyalah madzhabnya para Salaf yang sholih, yaitu : Malik, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’d, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohawaih dan lain-lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin yang terdahu lu maupun yang kemudian, yakni biarkanlah dia sebagaimana dia datang tanpa takyif, tanpa tasybih dan tanpa ta’thil [2] .”

Mengatakan bahwa Alloh berada di atas ‘Arsy tidak berarti menga takan bahwa Alloh membutuhkan tempat. Sesungguhnya Alloh U tidak membutuhkan tempat dan ruang. Keberadaan Alloh di atas ‘Arsy bermak-na Alloh berada tinggi di atas ‘Arsy-Nya tanpa perlu bersentuhan dengan ‘Arsy-Nya sebagaimana penafsiran dari Ibnu ‘Abbas t , Abul-’Aliyah dan para ‘ulama Salaf yang lainnya. Keberadaan Alloh di atas ‘Arsy me-nunjukkan bahwa Alloh berada di atas seluruh makhluk-Nya, karena Arsy adalah makhluk Alloh yang terbesar dan tertinggi.

Banyak pula hadits-hadits yang shohih yang menunjukkan bahwa Alloh I berada tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Bahkan ketika kita sujud, kita membaca : سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى “Maha Suci Alloh Yang Paling Tinggi”, menun-jukkan bahwa kita mengakui bahwa Alloh berada di tempat yang paling tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.

Kesalahan dalam memahami perkara ini menjadikan seseorang ter jerumus kepada pengingkaran tentang adanya Alloh tanpa disadarinya. Sebagaimana golongan Mu’tazilah, Maturidiyyah dan kebanyakan Ahli Kalam mengatakan bahwa : “Alloh tidak berada di atas, tidak di bawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di sebelah kanan, tidak di sebelah kiri, tidak di dalam alam dan tidak pula di luar alam.” Kalimat ini mereka lontarkan untuk membantah pemahaman para Salaf yang menyatakan bahwa Alloh bersemayam di atas ‘Arsy-Nya. Tetapi mereka tidak sadar bahwa “dzat” yang memiliki sifat tidak di atas, tidak di bawah, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di dalam alam dan tidak di luar alam hanyalah “sesuatu yang tidak ada“. Orang paling bodoh sekali pun ketika ditanya tentang “dzat” yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti akan menjawab : “sesuatu yang tidak ada“. Sehingga meya kini hal tersebut sebagai sifat bagi Alloh berarti sama dengan mengang-gap Alloh itu tidak ada.

Golongan yang lainnya menyimpang dengan berlebihan dalam menetapkan keberadaan Alloh, sampai mereka mengatakan bahwa Alloh bersemayam di atas ‘Arsy seperti seorang raja yang duduk di atas singga-sananya. Ini adalah kesalahan fatal karena menyamakan Alloh I dengan makhluk-Nya.

Golongan yang paling parah kesesatannya adalah golongan Pan-theisme atau penganut faham Wihdatul-Wujud yang dicetuskan oleh Ibnu ‘Arobi Ash-Shufi. Dia beranggapan bahwa tidak ada wujud yang hakiki di alam ini kecuali hanya wujud Alloh semata. Sehingga menurut mereka Alloh adalah semua yang ada ini. Atau yang kemudian dilontarkan de-ngan kalimat : “Alloh ada di mana-mana“. Maka faham Wihdatul-Wu- jud ini tidak menyalahkan penyembahan kepada berhala, karena menurut mereka Alloh pun ada di dalam berhala. Yang disalahkan oleh mereka adalah membatasi yang disembah hanya pada obyek-obyek tertentu. Sean dainya mereka menyembah semua yang ada, maka mereka baru dapat di-katakan benar. Sehingga faham ini lebih tepat diartikan dengan faham pe-nyembah segala sesuatu. Faham yang lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous