Selasa, 13 Juli 2010

TUHAN TERANG VS TUHAN GELAP

RACUN FILSAFAT DUALISME - PERSIA


Masyarakat Persia Purba telah melakukan pemujaan kepada berbagai kekuatan alam, seperti matahari, api, air, bumi, udara dan segala sesuatu yang bisa mendatangkan manfa’at, kemudian diyakini sebagai dewa-dewa kebaik-an. Selain itu mereka pun memuja kepada gempa, taufan, dan segala hal yang mendatangkan mudhorot, kemudian diyakini sebagai dewa-dewa kejahatan. Dewa-dewa kebaikan mereka lambangkan dengan terang atau cahaya, ada-pun dewa-dewa kejahatan mereka lambangkan dengan kegelapan.

Selain itu muncul pula mithos berkenaan dengan kisah Qobil dan Ha-bil yang dihembuskan Iblis, yaitu persembahan qurban yang dilakukan Habil diterima dengan bukti qurbannya dimakan api karena Habil menyembah api. Karena termakan kebohongan Iblis tersebut, muncullah penyembahan kepada api dan matahari yang dianggap sebagai lambang dari tuhan terang.

Kemudian muncul Zarathustra atau Zoroaster sekitar 500 tahun sebe-lum masehi yang memperkenalkan agama Majusi atau Zoroaster. Agama ini menetapkan adanya dua tuhan, yaitu tuhan kebaikan atau tuhan terang yang mereka sebut Ahura Mazda atau Ormuzd dan tuhan kejahatan atau tuhan ge-lap yang mereka sebut Ahriman. Kedua tuhan ini saling bermusuhan dan ber-tempur untuk saling mengalahkan. Dalam pertempuran ini Ahura Mazda di-bantu oleh dewa-dewa lainnya yang disebut Amesha Spenta. Ajaran Zarathus-tra ini diteruskan oleh Mazdak sehingga dikenal pula sebagai ajaran Mazdaki yah. Dalam ajaran Mazdakiyyah dilegalkan adanya seks bebas asalkan si wani ta yang menghendakinya.

Di Tiongkok muncul Chang Ling yang juga menyebarkan ajaran dua-lisme ini. Ia menamai tuhan terang dengan Tao, sehingga ajarannya dikenal dengan nama Taoisme. Kemudian K’ou C’ien Chih meleburkan agama Zoroas-ter ke dalam agama Tao, dan ia menggelari dirinya sebagai Tienshih atau utu-san langit.

Muncul pula Mani yang juga mengembangkan ajaran dualisme atau tsanawiyyah ini. Ajarannya kemudian dikenal sebagai Manawiyyah.

Ajaran dualisme atau tsanawiyyah ini diadobsi pula oleh beberapa ali-ran dan golongan sesat dalam umat Islam dalam versi yang lain. Di antara- nya adalah golongan Qodariyyah [1] dengan beragam sekte dan pengembangan nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هَذِهِ الأُمَّةِ

“Qodariyyah adalah Majusi-nya umat ini.” [ HHR. Abu Dawud dan Ahmad ]

Hal ini karena golongan Qodariyyah meyakini bahwa amalan hamba adalah ciptaannya sendiri. Sehingga di alam ini terdapat dua pencipta, yaitu Alloh se-bagai Pencipta hamba, dan setiap hamba adalah pencipta perbuatannya sendi ri. Inilah pemahaman dualisme atau tsanawiyyah sebagaimana yang dianut o-leh Majusi, hanya saja disajikan dalam versi yang lain.

Golongan Mu’tazilah [2] menganut pemahaman ini dan menamai prin-sip ini dengan Al-‘Adl ( keadilan ) yang merupakan salah satu prinsip utama di antara lima prinsip utama ( ushulul-khomsah ) golongan ini. Keadilan me-nurut golongan Mu’tazilah yaitu dengan menolak adanya taqdir dan menyata kan bahwa Alloh tidak menciptakan kejelekan. Bahkan Alloh hanya berbuat yang baik dan terbaik bagi hamba.

Pemahaman ini dianut pula oleh golongan Hisyamiyyah, pengikut Hi-syam bin ‘Amr Al-Futhi, golongan Jubaiyyah, golongan Ahmariyyah dan bebe-rapa aliran sesat yang lainnya.

Di lain sisi, muncul golongan Kaisaniyyah, pengikut Kaisan Maula ‘Ali bin Abi Tholib yang bersikap tawaqquf [3] dengan mengatakan : “Kami tidak ta-hu apakah perbuatan-perbuatan ini dari Alloh atau dari hamba. Dan kami ju-ga tidak tahu apakah manusia akan dibalasi setelah mati atau tidak.” Inilah go longan tsanawiyyah banci, karena sikap tawaqquf dalam perkara ini sama sa-ja dengan menyatakan secara tidak langsung bahwa Alloh bukan pencipta per buatan hamba.

Sementara itu Muhammad bin An-Nu’man Ar-Rofiqi yang dikenal de-ngan gelar Syetan Thoq menyatakan bahwa Alloh tidak pernah menciptakan syetan, sama dengan sebagian kaum Zoroaster yang menyatakan bahwa Tu- han terang tidak menciptakan syetan atau tuhan gelap. Golongan ini dikenal dengan nama Syaithoniyyah.

Muncul pula golongan Ma’mariyyah yang menganut pemahaman Na-turalisme. Golongan ini menyatakan bahwa Alloh tidak menciptakan warna, rasa, bau, hidup dan mati. Semua itu –menurut mereka- adalah perbuatan tu-buh atau jasad dengan tabiatnya sendiri. Bahkan mereka mengingkari keazali an [4] Alloh ‘azza wa jalla.

Demikianlah racun tsanawiyyah yang mencemari pemikiran beberapa kalangan kaum muslimin sehingga terperosok ke dalam kubangan kesesatan. Kebodohan akan hakekat Kauniyyah Qodariyyah [5] dan hakekat Syar’iyyah Dii niyyah [6] menyebabkan mereka memandang bahwa seandainya kejahatan ada-lah ciptaan Alloh maka Alloh menjadi tidak sempurna dan tidak adil. Dari pe-mahaman yang sempit ini, mereka merangkak menuju pemahaman sesat beri kutnya, yaitu menyatakan bahwa seandainya perbuatan hamba adalah cipta-an Alloh kemudian hamba tersebut Alloh masukkan sebagiannya ke dalam sur ga dan sebagian lainnya ke dalam neraka, tentu hal ini tidak adil. Supaya adil – versi mereka - maka hamba itulah yang menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari taqdir dan ketetapan Alloh.

Supaya kita terlepas dari kungkungan pemahaman sesat dualisme, ki-ta mesti membedakan antara mana ketetapan Kauniyyah Qodariyyah dan ma-na ketetapan Syar’iyyah Diiniyyah. Keberadaan kebaikan dan kejahatan me-mang ketetapan dan ciptaan Alloh, namun yang bersifat Kauniyyah Qodariy-yah. Sedangkan secara Syar’iyyah Diiniyyah Alloh tidak menghendaki hamba-Nya kecuali kebaikan.

Hal serupa berlaku pula di hukum yang ada pada manusia. Seperti da lam dunia pendidikan, secara hukum dasar kependidikan keberadaan nilai je- lek dan ketidaklulusan adalah sesuatu yang dikehendaki adanya, namun seca-ra hukum moral kependidikan tidak ada seorang pendidik pun yang menghen daki siswanya mendapatkan nilai jelek atau tidak lulus. Bukankah demikian ? Apakah kalau kemudian ada siswa yang mendapat nilai jelek atau terpaksa di-nyatakan tidak lulus berarti para pendidik telah berlaku tidak adil ?!! Atau apakah bila ada siswa yang mendapat nilai baik atau dinyatakan lulus berarti siswa itu telah berusaha sendiri tanpa bimbingan dan peran para pendidik ?!!

Demikian pula ketika Alloh Ta’ala mengadakan kebaikan dan keburu-kan, tidak berarti Alloh menghendaki hamba-hamba-Nya memilih keburukan karena keberadaan keburukan hanya dikehendaki secara kauniyyah qodariy-yah, sedangkan secara syar’iyyah diiniyyah Alloh hanya menghendaki hamba-hamba-Nya memilih kebaikan.

Sekalipun kebaikan dan keburukan semuanya ciptaan Alloh, namun kita tidak diperkenankan menyandarkan keburukan kepada Alloh, dan hanya kebaikan yang wajib disandarkan kepada Alloh. Hal ini selain sebagai adab atau tata karma, juga terdapat banyak hikmah di dalamnya, di antaranya : agar pelaku kebaikan tidak sombong dan lupa diri dengan amalannya dan te-rus terpacu untuk meningkatkan amal kebaikannya, dan agar pelaku keburu-kan tidak merasa aman dari ancaman siksa Alloh akibat kemaksiatannya dan segera berupaya untuk bertaubat memohon ampun kepada Alloh.

Bila seseorang telah memahami perbedaan mendasar tentang perkara kauniyyah qodariyyah dengan syar’iyyah diiniyyah maka tidak mungkin ia bi-sa terjebak dalam perangkap faham sesat tsanawiyyah.

وَ قَالَ اللهُ لاَ تَتَّخِذُوْا إِلـهَيْنِ اثْنَيْنِ , إِنَّمَا هُوَ إِلـهٌ وَاحِدٌ , فَإِيَّايَ وَ ارْهَبُوْنَ

“Alloh berfirman : “ Janganlah kamu mengambil dua ilah ( sesembahan ), ka-rena Dia adalah ilah yang Esa, maka hanya kepada-Ku saja kalian takut !”

[ An-Nahl : 51 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous