AL-HADITS
Hadits ( الحديث ) menurut bahasa bermakna “ baru ”. Menurut istilah para ulama ahli hadits yaitu : “Apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir ) maupun sifat-sifat beliau.”
Hadits disebut pula dengan beberapa nama yang lain, yaitu :
1. Sunnah ( السنة )
2. Khobar ( الخبر ), namun dalam perkembangannya istilah Khobar lebih umum meliputi semua berita, dari Nabi saw atau pun dari selain beliau.
3. Atsar ( الأثر ), namuan dalam perkembangannya istilah atsar lebih banyak dipakai untuk penukilan dari para Shahabat ra , para Tabi’in dan para ‘ulama Salaf lainnya.
Ulama ahli hadits disebut Muhaddits ( المحدث ).
BEBERAPA ISTILAH PENTING
Hadits terbagi menjadi dua bagian, yaitu Sanad ( السَّنَدُ ) dan Matan ( الْمَتْنُ ). Sanad adalah susunan para perowi suatu hadits, disebut pula dengan isnad ( الإسناد ). Rowi ( الراوي ) yaitu orang yang meriwayatkan hadits. Dan Matan adalah bunyi teks dari hadits. Contoh :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَ إ ِنَّمَا ِلامْرِئٍ مَا نَوَى
“ ‘Abdulloh bin Maslamah bin Qo’nab telah bercerita kepada kami : Malik telah bercerita kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrohim dari ‘Alqomah bin Waqqosh dari ‘Umar bin Al-Khoththob, dia berkata : “Rosululloh saw bersabda : “Sesungguhnya amalan-amalan itu hanya bergantung kepada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shohih-nya.
Perkataan Imam Muslim dari sejak ‘Abdulloh bin Maslamah bin Qo’nab telah bercerita kepada kami hingga dari ‘Umar bin Al-Khoththob disebut dengan Sanad. Bunyi sabda Rosululloh saw disebut Matan.
Imam Muslim yang mengeluarkan hadits ini dalam kitabnya, maka dia disebut Mukhorrij ( المخرج ). Kemudian awal sanad dimulai dari rowi terdekat dengan Mukhorrij, yaitu ‘Abdulloh bin Maslamah, dan akhir sanad adalah rowi yang terjauh yaitu ‘Umar bin Al-Khoththob.
Ilmu Hadits terbagi dua yaitu ilmu tentang seluk-beluk sanad dan matan hadits untuk menentukan keshohihan hadits disebut Ilmu Hadits Diroyat atau Mushtholah Hadits. Sedang ilmu hadits yang membahas tentang makna dari hadits-hadits Nabi saw disebut Ilmu Hadits Riwayat.
SEJARAH PENULISAN HADITS
Hadits Nabi saw memang belum ditulis secara umum pada zaman Nabi saw masih hidup, karena ketika itu Al-Qur’an masih dalam proses diturunkan dan diurutkan. Bahkan Nabi saw melarang masyarakat umum dari menulis hadits, sebagaimana sabdanya :
لا تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَ مَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَ حَدِّثُوْا عَنِّيْ وَ لا حَرَجَ
وَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku, barangsiapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an hendaklah dia menghapusnya, dan beritakanlah hadits dariku, yang demikian tidak berdosa, namun barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari api neraka.” ( HR. Muslim )
Larangan penulisan hadits ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak tercampur antara tulisan Al-Qur’an dengan tulisan hadits.
Walaupun demikian, Nabi saw memberikan izin kepada orang-orang tertentu untuk menulis hadits yang diyakini tidak akan terjadi tercampurnya tulisan Al-Qur’an dengan tulisan hadits pada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat :
فَقَامَ أَبُو شَاهٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اكْتُبُوْا لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اكْتُبُوْا لأَبِيْ شَاهٍ
“Berdirilah Abu Syah, yakni seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dia berkata : “Tuliskan untukku, wahai Rosullulloh !” Maka Rosululloh saw bersabda : “Tuliskan untuk Abu Syah !” ( HR. Al-Bukhori dan Abu Dawud )
Meskipun demikian, hadits Nabi saw tetap dihafal dan diriwayatkan oleh para Shahabat ra , karena Nabi saw bersabda :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu.”
( HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim )
Rosululloh saw juga memerintahkan untuk meriwayatkan hadits :
أَلا لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَلَعَلَّ بَعْضَ مَنْ يُبَلِّغُهُ يَكُوْنُ أَوْعَى لَهُ مِنْ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ
“Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena mungkin terjadi sebagian orang yang disampaikan ( hadits ) kepadanya lebih menguasai daripada sebagian orang yang mendengarnya ( langsung ).” ( HR. Ahmad, Al-Bukhori, Muslim, dan Ibnu Majah )
Namun begitu Rosululloh saw tetap memerintahkan kepada para Shahabat agar tetap selektif dalam menyampaikan hadits :
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dianggap pendusta bila dia memberitakan setiap apa yang dia dengar.” ( HR. Muslim )
Dalam riwayat yang lain disebutkan :
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dianggap berdosa bila dia memberitakan setiap apa yang dia dengar.” ( HSR. Abu Dawud )
Sehingga Hadits Nabi saw pada zaman beliau dan zaman Al-Khulafa Ar-Rosyidin dijaga dengan cara dihafal dan diriwayatkan secara hati-hati agar tidak terjadi kesalahan.
Saat terjadi konflik pada zaman Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib ra mulai bermunculan orang-orang yang buruk agama dan akhlaknya yang membuat hadits-hadits palsu untuk mendukung golongannya. Kemudian bermunculan banyak pemalsu hadits dari kalangan orang-orang sesat, musuh-musuh Islam yang menyusup di tengah-tengah kaum muslimin, dan para pengekor hawa nafsu. Ada pula orang-orang yang berniat baik namun memakai cara-cara yang buruk untuk memotivasi orang lain agar giat beramal dengan cara membuat hadits-hadits palsu seputar keutamaan amal.
Melihat kondisi hadits Nabi saw yang terancam keasliannya dengan bertebarannya hadits-hadits palsu, maka Kholifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rohimahulloh memerintahkan kepada Abu Bakar bin Hazm untuk meneliti, mengumpulkan dan membukukan hadits. Kholifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rohimahulloh berani melakukan kegiatan pengumpulan dan pembukuan hadits karena pada zaman beliau mushhaf Al-Qur’an sudah tersebar ke segala penjuru dunia Islam, sehingga tidak ada kekhawatiran akan tercampurnya tulisan hadits dengan tulisan Al-Qur’an.
Tindakan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rohimahulloh memotivasi para ‘ulama yang lain untuk melakukan hal serupa, sehingga bangkitlah para ‘ulama Ahli Hadits untuk menulis hadits. Seperti Imam Malik bin Anas rohimahulloh yang menulis kitab Al-Muwatho’, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rohimahulloh yang menulis kitab Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal yang menulis kitab Al-Musnad dan lain-lain. Tetapi ketika itu hadits-hadits yang dikumpulkan dalam kitab-kitab yang mereka tulis belum diseleksi. Untuk menyeleksi hadits-hadits yang telah tertulis dalam kitab-kitab tersebut, para ‘ulama menetapkan suatu kaidah yang dikenal dengan MUSHTHOLAH HADITS ( مصطلح الحديث ).
Setelah itu muncul Imam Al-Bukhori yang memulai menulis kitab yang hanya memuat hadits-hadits yang shohih saja. Lalu diikuti oleh muridnya, yaitu Imam Muslim. Kemudian susul-menyusul para ‘ulama yang mengikuti jejak mereka.
Generasi berikutnya adalah generasi ‘ulama yang berupaya untuk menjelaskan makna hadits. Maka bermunculan kitab-kitab Syarah Hadits seperti Al-Minhaj Syarah Shohih Muslim oleh Imam An-Nawawi, Fathul Baarii Syarah Shohih Al-Bukhori karya Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous