Sabtu, 17 Juli 2010

KETIKA DEMOKRASI DIPERTUHANKAN

Kata demokrasi seolah-olah sudah lekat dalam kehidupan keba- nyakan kaum muslimin pada masa kini. Seolah-olah tiada muamalah tanpa demokrasi. Bahkan demokrasi telah menjelma menjadi barang yang sangat sakral dan tidak boleh di ganggu gugat. Lalu apakah de- mokrasi itu ?
Demokrasi yaitu bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta dengan perantaraan wakilnya, atau pemerintah-an rakyat. Demokrasi juga bermakna gagasan atau pandangan hidup tentang persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu se- buah tradisi mengambil keputusan dengan kesepakatan rakyat atau suara terbanyak. Kemudian demokrasi dikembangkan oleh kaum seku-ler dan atheis untuk memberangus peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Salah satu ciri khas demokrasi yaitu pengambilan pendapat ha-rus melalui voting atau pemungutan suara. Bila sebuah keputusan te-lah mencapai 50% plus satu maka keputusan tersebut wajib dilaksana- kan, meskipun bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini karena ba- gi kaum demokrat 50 % plus satu adalah penentu segalanya.
Di antara aturan main dari voting ala kaum demokrat yang ti-dak boleh dilanggar yaitu one man one vote ( setiap satu orang memi-liki satu hak suara ). Aturan ini berlaku secara mutlak, dalam artian tan-pa membedakan antara seorang sholih dengan seorang bajingan, tan-pa membedakan antara seorang terpelajar dengan seorang yang idiot, tanpa membedakan antara seorang yang merdeka dengan seorang yang ditekan atau dipaksa, dan sebagainya. Bagi kaum demokrat, seo-rang ulama besar yang paling sholih di negerinya pendapatnya dan su aranya sama bobotnya dengan seorang bandit besar yang kafir dan za lim. Bila kemudian kehendak bandit itu yang menang maka ulama be-sar tersebut wajib tunduk kepada apa yang dimaui oleh bandit itu. Ini-lah hakekat demokrasi yang tersamarkan atas kalangan awam kaum muslimin. Apakah ini suatu bentuk keadilan ?!!
Penentuan suatu pendapat dengan suara terbanyak tidak saja melukai keadilan, namun juga bertentangan dengan firman Alloh :
وَ إِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ , إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
”Bila kamu mematuhi kebanyakan orang yang ada di bumi, mereka a-kan menyesatkanmu dari jalan Alloh, karena mereka hanya mengikuti persangkaan semata, dan mereka hanya mengadakan kedustaan.”
( Qs. Al-An’am : 116 )
Ayat tersebut secara jelas dan tegas melarang kita mengikuti suara ter-banyak ala demokrasi Yunani. Ayat-ayat yang semakna dengannya ma-sih banyak terdapat dalam Al-Qur’an.
Ada sebagian kaum muslimin yang telah tercemar oleh virus de mokrasi dengan lantangnya membolehkan sistem demokrasi dengan berdalil kepada penunjukan tiem formatur oleh ’Umar bin Al-Khotthob rodhiyallohu ’anhu untuk memilik calon penggantinya. Ketika itu ’Umar memberi arahan kepada tiem formatur yang terdiri dari 6 orang yang memiliki hak memilih dan dipilih, yaitu : ’Utsman, ’Ali, Tholhah, Az-Zuba- ir, Sa’ad bin Abil-Waqqosh dan ’Abdur-Rohman bin ’Auf, serta 1 orang yang hanya memiliki hak memilih tanpa hak dipilih yaitu Ibnu ’Umar, yaitu agar dipilih menjadi kholifah penggantinya siapa pun yang disetu jui oleh suara terbanyak. Tindakan ’Umar ini dijadikan landasan mereka untuk membolehkan praktek demokrasi.
Sesungguhnya kejadian tersebut bukanlah dalil bagi kebolehan demokrasi ala Barat, bahkan kejadian tersebut merupakan dalil yang sa ngat terang untuk menyalahkan model demokrasi ala Barat. Yaitu dari segi kualitas kesholehan dan keilmuan, 6 orang tiem formatur ditam- bah 1 orang tersebut adalah orang-orang tersholih dan terbaik pada zaman itu. Bahkan kebaikan mereka dijamin oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keenam orang tersebut adalah orang-orang yang dijamin bakal masuk ke dalam syurga. Tidak ada per-selisihan pendapat di kalangan para shahabat ketika itu tentang keuta- maan mereka atas selainnya. Sehingga semua anggota tiem formatur tersebut memang layak menjadi kholifah dari segi kesholihan dan keil-muannya. Dalam prosesi pemilihan ini, ’Umar tidak melibatkan orang-orang lain yang derajat keilmuan dan kesholehannya masih di bawah mereka., apalagi orang-orang awam yang jauh dari kesholehan dan keilmuan.
Coba bandingkan dengan demokrasi ala Barat yang berprinsip semua orang dianggap sama, tanpa mempertimbangkan kesholehan dan mutu keilmuannya ! Apakah sama antara model tiem formatur pa-da zaman ’Umar dengan demokrasi ala Yunani ?!!
Selain itu pemungutan suara yang dilakukan oleh tiem formatur atau Ahli Syuro pada zaman ’Umar tidaklah dilakukan untuk merubah atau mengambil keputusan dari suatu perkara yang telah ada hukum dan ketetapannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini berbeda de ngan demokrasi ala Barat yang memang diformat agar bisa memben-dung penetapan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ada sebagian kalangan yang membela pola demokrasi dengan berdalil kepada ayat : وَ أَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ
”dan urusan mereka (diputuskan dengan ) musyawarah di antara me-reka.” ( Qs. Asy-Syuro : 38 )
Begitulah mereka, memenggal ayat sesuai seleranya, kemudian menaf-sirkan sesuai hawa nafsunya. Padahal ayat tersebut lengkapnya adalah:
وَ الَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَ أَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
”Dan orang-orang yang menerima ( mematuhi ) Tuhannya, menegak-kan sholat, urusan mereka ( diputuskan dengan ) musyawarah di anta-ra mereka dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka.” ( Qs. Asy-Syuro : 38 )
Perhatikan bunyi di awal ayat : وَ الَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ yaitu mereka meneri-ma atau mematuhi Tuhannya. Artinya dalam masalah agama tidak ada istilah musyawarah. Musyawarah adalah dalam hal yang tidak diatur oleh agama secara rinci. Sehingga dibutuhkan musyawarah untuk me-netapkannya berdasarkan aturan hukum Alloh yang umum.
Di samping itu, wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen tidak sama dalam kualitas ilmu dan amalnya, bahkan banyak yang fasiq dan kafir. Bagaimana mungkin akan bermusyawarah dengan mereka ? Apalagi untuk menghukumi ketetapan Alloh ?!!!
Di antara mereka ada yang berujar : ”Bila kaum muslimin tidak ada yang mau mengikuti proses demokrasi, apakah kita akan biarkan parlemen dikuasai oleh orang-orang fasiq dan kafir ?” Maka kita jawab : ”Sesungguhnya kebaikan tidak mungkin akan dicapai dengan cara yang tidak baik. Karena Alloh tidak akan menerima amalan seseorang yang dilakukan dengan cara yang salah. Mengandaikan parlemen di-kuasai oleh orang kafir adalah pengandaian yang sangat salah. Karena bila mayoritas penduduk negeri yang muslim tidak mengikuti proses de mokrasi maka suara yang bisa dikumpulkan dalam pemilu paling ha-nya sekitar 20 %, dan ini tidak sah menurut ”madzhab” demokrasi.”
Ketahuilah bahwa setiap putaran pemilu di negeri mana pun di dunia ini, pemenang sebenarnya adalah golput. Andaikata disensus se cara adil dan transparan, maka angka golput di negeri Amerika yang merupakan ”pendekar” demokrasi bisa mencapai 40 % atau bahkan le-bih. 60 % atau kurang adalah suara yang dibagi untuk kubu Partai De-mokrat dan Partai Republik. Sehingga pemenang sebenarnya dalam Pe milu di negeri para ”pendekar” demokrasi itu adalah golput !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous