[ F A H A M P E N Y E M B A H S E G A L A ]
Perkataan Tuhan ada di mana-mana nampaknya begitu lekat dengan kebanyakan kaum muslimin sekarang ini dan begitu gampang diucapkan tan-pa berfikir panjang tentang makna dan akibat dari perkataan tersebut. Seti- dak-tidaknya ucapan tersebut bertentangan dengan firman Alloh ta’ala :
“ Tuhan Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy “. [ Qs. Thoha : 5 ]
Perkataan Tuhan ada di mana-mana adalah salah satu konsekuensi da ri faham Wihdatul-Wujud atau Phantheisme yang merupakan pengembangan dari faham Hulul dan filsafat Ibnu Sina. Pencetus faham kafir ini adalah Ibnu ‘Arobi penulis kitab Al-Futuhat dan Al-Fushush.
Dalam faham Wihdatul-Wujud disebutkan bahwa segala sesuatu me-miliki dua sisi, yaitu Al-Kholq yang merupakan aspek lahiriyah yang memiliki sifat kemanusiaan ( Nasut ) dan Al-Haqq yang merupakan aspek bathiniyah yang memiliki sifat ketuhanan ( Lahut ). Walau pun demikian aspek yang ter-penting adalah aspek bathinnya, yaitu al-Haq ( ketuhanan ) yang ini merupa-kan hakekat dari semua yang wujud.
Menurut Ibnu ‘Arobi, alam ini diciptakan Alloh dari ‘ain wujud-Nya, sehingga pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara Dia dengan makhluq-Nya. Dalam Risalah Ahadiyah Ibnu ‘Arobi berkata : “ Dia mengetahui diri-Nya dengan diri-Nya sendiri, selain Dia tidak dapat menguasai-Nya…… Nabi-Nya a dalah diri-Nya sendiri, Rosul-Nya adalah diri-Nya sendiri, Firman-Nya adalah Dia, kata-kata-Nya adalah Dia. Dia mengirimkan firman-firman-Nya sebagai wujud-Nya dengan diri-Nya sendiri, dari diri-Nya sendiri, untuk diri-Nya sen-diri, tanpa perantara atau sebab selain diri-Nya sendiri.”
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Adnan Oktar yang lebih popu-ler dengan nama Harun Yahya. Dalam VCD Rahasia di Balik Materi, dia berka ta: “Semua yang kita lihat, kita sentuh, kita dengar dan kita rasakan sebagai ma teri, dunia atau alam semesta hanyalah sinyal-sinyal listrik dalam otak kita……. Jika segala peristiwa yang kita ketahui terjadi di alam materi pada kenyataan-nya adalah sekedar penampakan, lalu bagaimana dengan otak kita sendiri ? Oleh karena otak kita adalah materi sebagaimana lengan kita, kaki atau ben- da lain, ia mestinya juga sekedar penampakan sebagaimana semua benda lain- nya …… Di segala penjuru jagad raya yang terbentuk oleh beragam penampa- kan adalah Wujud Alloh sebagai wujud nyata satu-satunya.”
Pendapat serupa dikatakan pula oleh Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil-Qur’an ketika menafsirkan Surat Al-Ikhlas, yaitu memaknakan Al-Ahad de-ngan faham kesatuan wujud, yaitu Alloh adalah wujud nyata satu-satunya di jagad raya ini.
Apa konsekuensi dari faham kesatuan wujud atau Pantheisme ini ? Bi-la segala sesuatu yang wujud ini hakekat wujud sebenarnya adalah Alloh, ma-ka pemahaman Pantheisme ini menjadikan para penganutnya sebagai penyem bah segala sesuatu. Bahkan ketika melihat penyembah berhala, mereka berka-ta bahwa para penyembah berhala itu tidaklah menyembah kecuali kepada Alloh, karena berhala yang mereka sembah itu hakekat sebenarnya adalah Alloh. Para penganut faham Wihdatul-Wujud ini tidaklah mengkafirkan ka-um musyrikin karena penyembahannya kepada berhala, tidak pula mengkafir kan umat Nashrani karena menyembah ‘Isa ‘alaihis-salaam, tidak juga mengka firkan umat Yahudi karena menyembah ‘Uzair, tetapi mereka mengkafirkan- nya karena kaum musyrikin membatasi penyembahan kepada beberapa ben- tuk berhala saja, begitu pula orang-orang Nashrani dikafirkan karena memba-tasi penyembahannya kepada ‘Isa ‘alaihis-salaam saja, dan seandainya kaum musyrikin, Yahudi dan Nashrani menyembah semua benda dan segala sesuatu barulah dikatakan tidak kafir menurut penganut faham Pantheisme ini.
Bahkan tidak sekedar itu. Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengutip sua-
tu dialog antara At-Tilmisani yang merupakan salah satu tokoh Wihdatul-Wu jud dengan orang-orang setelah pembacaan kitab Al-Fushushnya Ibnu ‘Arobi :
Orang-orang berkata kepadanya : “Sesungguhnya Al-Qur’an menyelisihi pen- dapat kalian !”
At-Tilmisani menjawab : “Al-Qur’an itu semuanya syirik ! Tauhid itu hanya ada pada perkataan kami.”
Lalu ia ditanya : “Bila memang wujud itu hanya satu, kenapa isteri boleh disetu buhi, sedangkan saudari perempuan tidak boleh ?”
At-Tilmisani menjawab : “Semuanya menurut kami boleh saja !”
Lihatlah akibat dari faham sesat dan kafir Pantheisme ini ? Tidak ada perbeda-an antara zina dengan nikah, antara mengambil dengan benar dengan mencuri, antara membunuh dengan dibunuh dan sebagainya ! Apakah ini ajaran yang dapat diterima oleh akal yang sehat ?!!
Sebenarnya tujuan utama dari pengajaran faham Wihdatul-Wujud ini adalah hendak menafikan adanya Sang Pencipta. Karena bila tidak ada perbe daan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, maka siapa menciptakan siapa ?! Kemudian siapa menyembah siapa ?!
Beberapa penganut faham Wihdatul-Wujud ini, seperti Ibnu Sab’in membagi manusia menjadi tiga tingkatan :
Tingkatan pertama yang meruapakan tingkatan terendah adalah hamba yang bersaksi akan adanya keta’atan dan kemaksiatan.
Tingkatan kedua, yaitu hamba yang bersaksi adanya keta’atan dan tidak ada-nya kemaksiatan. Hamba pada tingkatan ini berkata : “Kami mengkafiri Tuhan yang bisa didurhakai !” Sehingga orang-orang pada tingkatan kedua ini meng-anggap bahwa semua kejadian di alam ini adalah keta’atan kepada Alloh, seka lipun itu adalah perbuatan dosa. Karena mereka menganggap bahwa dosa yang dilakukan hamba telah dikehendaki oleh Alloh, sehingga hamba hanya sekedar ta’at menjalani perbuatan dosa tersebut. Inilah faham sesat Jabariyyah.
Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan paling sempurna –menurut Ibnu Sab’in – yai-tu hamba yang bersaksi tidak ada keta’atan dan tidak ada kemaksiatan. Inilah orang-orang yang menganut faham Wihdatul-Wujud. Mereka mengatakan demikian karena bila semua wujud ini hakekatnya adalah satu, lalu siapa men-ta’ati siapa ?! dan siapa mendurhakai siapa ?!
Perhatikanlah, betapa rusaknya pemahaman Wihdatul-Wujud ini !
Para penganut faham Pantheisme ini berupaya mencari pembenaran fa ham sesat dan kafirnya dengan beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya :
“ Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.” [ Qs. Al-Hadid : 4 ]
“ Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” [ Qs. Al-Mujadalah : 7 ]
Maka kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya makna ma’iyyah ( kebersa maan ) tidaklah mesti menyatu atau bercampur, sebagaimana perkataan dua insan yang saling mencinta yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh : “Ka mu selalu bersamaku” atau “ Kamu selalu di hatiku”.
Makna ma’iyyah Alloh ( Alloh bersama kita ) yaitu Alloh selalu mengetahui, melihat, mendengar dan mengawasi kita, sebagaimana firman Alloh kepada Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas-salaam :
“Sesungguhnya Aku bersama kalian, Aku mendengar dan melihat.”
[ Qs. Thoha : 46 ]
Demikian pula makna ma’iyyah Alloh dalam Qs. Al-Hadid : 4, Qs. Al-Mujada-lah : 7 dan lain-lainnya, yaitu mengetahui dan mengawasi. Dan makna ini sema kin jelas bila kita membaca ayat-ayat tersebut secara utuh dari awalnya. Mereka juga berdalil dengan ayat yang lain :
“ Dan KAMI lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” [ Qs. Qof : 16 ]
Maka kita jawab : Sesungguhnya tafsiran yang benar adalah malaikat pencatat amal yang ada di kanan dan kiri manusia, sebagaimana bisa kita ketahui bila kita membaca ayat-ayat setelahnya, yaitu Qs. Qof : 17 – 18.
Dengan demikian terbantahlah semua dalih dan argumen mereka.
Hancurkan ,,,,,,,,,,,
BalasHapus