Ajaran Kafir Tashowwuf Filasafat
Faham manunggaling kawula – Gusti yang dipopulerkan oleh Hu- sain bin Manshur Al-Hallaj dengan istilah Hulul secara sederhana dapat di definisikan dengan : Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia terten-tu setelah manusia tersebut menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Ka-rena menurut Al-Hallaj, manusia memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat Nasut ( kemanusiaan ) dan sifat Lahut ( ketuhanan ). Demikian pula dengan Tu-han yang juga memiliki kedua sifat tersebut, Lahut dan Nasut. Kesamaan inilah yang memungkinkan terjadinya penyatuan antara manusia dengan Tuhannya. Pendapat sesat ini didasari anggapan bahwa Adam ‘alaihis-sa-laam sebagai manusia pertama telah dijadikan oleh Alloh sebagai copy da ri diri-Nya dengan segala sifat dan kebesarannya. Mereka mencari pembe-naran dari hadits :
?????? ????? ????? ????? ??????????
“Alloh telah menciptakan Adam berdasarkan bentuk-Nya.” [ HR. Bukhori ]
Padahal maksud hadits tersebut adalah berdasarkan bentuk-bentuk yang ada pada Alloh sesuai dengan kehendak-Nya yang tentunya berbeda hake katnya. Seperti Alloh menjadikan manusia memiliki tangan sebagaimana Alloh juga memiliki tangan, namun tangan Alloh tidak sama dengan ta-ngan manusia. Alloh ta’ala menjadikan manusia memiliki mata sebagaimana Alloh pun memiliki mata, namun hakekat bentuk mata Alloh berbeda dengan bentuk mata makhluq-Nya. Perkataan dalam ha-dits tersebut sama dengan ucapan : “Helicopter diciptakan berdasarkan bentuk capung.” Apakah helicopter sama hakekatnya dengan capung ?!!
Selain Al-Hallaj, tokoh lain yang memunculkan faham “manungga ling kawula – Gusti ” adalah Abu Yazid Al-Busthomi atau Bayazid. Dialah tokoh yang pertama kali mempoplerkan istilah fana’ an-nafs dalam dunia tashowwuf, yaitu keadaan di mana seorang shufi kehilangan kesadaran akan hakekat dirinya. Dalam keadaan demikian –menurut Bayazid- seseo-rang dapat membebaskan dirinya dari alam dunia sehingga dapat mempe roleh jalan kembali ke sumber asalnya. Karena manusia dalam teori Baya-zid dianggap sebagai pancaran dari Nur Ilahi, maka dalam keadaan fana’ ini seorang shufi dapat meraih tajrid fana’ fit-tauhid atau perbaduan de-ngan Alloh tanpa diantarai sesuatu apa pun. Faham ini disebut Ittihad.
Tokoh lainnya yang mengajarkan “manunggaling kawula – Gusti ” adalah Suhrowardi Al-Maqtul yang mempopulerkan fahamnya dengan na ma Al-Isyroq yang merupakan penggabungan filsafat Neo Platoisme de-ngan beberapa ajaran filsafat Persia. Suhrowardi menyatakan bahwa pen ciptaan alam ini terjadi melalui proses penyinaran atau illuminasi. Cahaya dalam alam ini bertingkat-tingkat, yang tertinggi disebut dengan Nurul-An war atau Nurul-A’zhom dan inilah Alloh. Dan manusia diciptakan melalui pancaran cahaya yang berasal dari Nurul-Anwar melalui proses yang ham pir sama dengan teori emanasi Ibnu Sina dan Al-Farobi. Dengan demikian maka manusia bisa kembali lagi ke sumber asalnya, yaitu Alloh atau Nurul Anwar. Kemudian Suhrowardi mengajarkan beberapa ritual dzikir untuk bisa bersatu dengan Alloh, dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut :
? Tingkat I : ?? ??? ???? ???? ( tidak ada Ilah kecuali Alloh )
? Tingkat II : ?? ?? ???? ?? ( tidak ada Dia kecuali Dia )
? Tingkat III :?? ??? ???? ??? ( tidak ada Engkau kecuali Engkau )
? Tingkat IV :?? ??? ???? ??? ( tidak ada Aku kecuali Aku )
? Tingkat V :??? ??? ???? ??? ???? ( Semua pasti binasa kecuali Wajah-Nya )
Di Indonesia tidak sedikit tokoh-tokoh thoreqot yang mengajar-kan faham “ manunggaling kawula – Gusti “, yang paling terkenal di anta ra mereka adalah Syeikh Siti Jenar atau Syeikh Lemah Abang. Para penga-nut ajaran “ manunggaling kawula – Gusti “ ini berdalil dengan hadits :
?? ??? ????????? ??????? ???????? ???????? ??????? ?????? ?????? ????????????? ???????? , ?? ??? ??????? ???????? ??????????? ?????? ?????????????? ?????? ????????? , ??????? ???????????? ?????? ???????? ???????? ???????? ???? ?? ???????? ???????? ???????? ???? ?? ?????? ???????? ???????? ????? ?? ???????? ???????? ???????? ????? , ?? ?????? ?????????? ?????????????? ?? ?????? ?????????????? ??????????????
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang le bih Aku sukai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Selalulah ham ba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah hing-ga Aku mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pen-dengaran yang ia mendengar dengannya, Aku adalah penglihatan yang ia melihat dengannya, Aku adalah tangan yang ia menyerang dengannya, dan Aku adalah kaki yang ia melangkah dengannya. Bila dia meminta ke-pada-Ku pasti Aku beri, bila ia meminta perlindungan kepada-Ku pasti A-ku lindungi.” [ HR. Al-Bukhori ]
Mereka menafsirkan kata-kata “Aku adalah pendengarannya, penglihatan nya, tangannya dan kakinya ” dengan bersatunya Alloh dengan seorang wali –versi mereka tentunya-. Padahal makna yang benar dari perkataan tersebut adalah sebagaimana disampaikan oleh Imam An-Nawawi rohima hulloh : “… dan berubahlah seluruh gerakan kedua tangan dan kakinya untuk Alloh ta’ala, ia tidak berjalan pada apa yang tidak ada manfa’atnya dan tidak berbuat sesuatu apa pun dengan tangannya hal-hal yang sia-sia, bahkan seluruh gerak dan diamnya hanya untuk Alloh ta’ala.”
Ibnu Daqiqil ‘Ied rohimahulloh berkata : “Dan ma’nanya yaitu dia tidak mau mendengar apa yang tidak diizinkan oleh syara’, tidak mau melihat apa yang tidak diizinkan oleh syara’, tidak mau mengulurkan tangan pada apa yang tidak diizinkan oleh syara’ dan tidak mau berusaha yang kaki-nya pada apa yang tidak diizinkan oleh syara’, inilah asalnya.”
Pendapat serupa juga dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Qodir Al-Jailani rohi-mahulloh dalam kitab Futuhul-Goib. Bahkan beliau menolak dengan te-gas penafsiran istilah “bersatu dengan Alloh” dengan tafsiran “manungga- ling kawula – Gusti “ , karena penafsiran yang demikian berarti menyama kan Alloh dengan makhluq , padahal Alloh ‘azza wa jalla telah berfirman :
?????? ?????????? ?????? ?? ???? ??????????? ???????????
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mende-ngar lagi Maha Melihat.” [ Qs. Asy-Syuro : 11 ]
Sesungguhnya penggunaan kata-kata “ Aku pendengarannya yang ia men-dengar dengannya, ..dst” sama dengan perkataan yang sering pula diguna kan dalam keseharian kita, seperti ucapan : “ Aku sedang membangun ru-mah.” Padahal ketika itu, bisa jadi kita tidak pernah ikut menggarapnya sedikit pun, bahkan mungkin pula kita sama sekali belum pernah melihat bangunan rumah kita yang sedang dibangun tersebut. Meski yang menger jakan pekerjaan membangun rumah adalah para tukang, namun tidak sa-lah bila kita mengatakan bahwa kitalah yang sedang membangunnya, ka-rena para tukang tersebut mengerjakannya sesuai perintah yang kita ke-hendaki. Lain halnya bila para tukang tersebut membuat bangunan di ta- nah kita dengan tanpa perintah dari kita, tentu tidak bisa kita mengata-kan bahwa kitalah yang lagi membangunnya, meskipun tukang yang me-ngerjakannya sama dengan yang menggarap rumah yang pernah kita pe-san. Dengan demikian terbantahlah pendalilan penganut faham “manung-galing kawula – Gusti “ dengan hadits ini. Apalagi dalam hadits tersebut diawali dengan penyebutan Alloh sebagai diri-Nya dan penyebutan ham- ba sebagai yang berupaya mendekatkan diri kepada Alloh, dan diakhiri dengan penyebutan Alloh sebagai diri-Nya dan hamba sebagai yang me-mohon kepada Alloh. Dengan demikian semakin memperjelas bahwa ma’ na yang dikehendaki dari hadits tersebut bukan penyatuan versi penganut
faham “manunggaling kawula – Gusti “, karena penyebutan dua dzat ber-beda yang saling terpisah satu dengan yang lainnya akan memustahilkan memaknainya dengan melebur jadi satu, apalagi Dzat Alloh Maha Besar lebih besar dari total ukuran seluruh makhluq-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MOhon Commentx ,,,,, apabila tidak memiliki email atau web ...anda bisa memilih beri komentar sebagai Anonymous